Rabu, 15 Mei 2013

Paradoks Pendidikan Kita


Konon, pendidikan adalah cara tercepat mengantarkan rakyat sejahtera. Coba kita tengok sejarah ketika dua kota di Jepang dibombardir dengan bom atom oleh Amerika. Kerusakan waktu itu merata dan meruntuhkan bangunan peradaban Jepang. Kerusakan yang awalnya diperkirakan baru pulih dalam 50 tahun. Dapat pulih hanya dalam jangka 10 tahun. Alasannya pemerintah Jepang membuat terobosan dengan mewajibkan warganya membaca. Juga mendatangkan guru terbaik dari penjuru negeri.

Pendidikan selalu menjadi alternatif yang paling ampuh ditengah krisis. Karena pendidikan mengajak masyarakat berpikir. Sedangkan dengan berpikir manusia menyadari realitas sekelilingnya. Berawal dari menyadari inilah manusia belajar merekayasa. Dari merekayasa masyarakat membangun kembali peradabannya. Kesejahteraan datang bersamaan dengan tegaknya peradaban.

Sejarah ini memang pernah terjadi di Jepang. Di negara yang para serdadunya hampir saja menaklukkan setengah wilayah dunia. Namun tunggu dulu ketika mencoba mengaitkan dengan pendidikan di Indonesia. Ada banyak hal yang perlu kita telaah pelan-pelan. Ada banyak paradoks yang memerlukan kejernihan pikiran dalam memahaminya.

Paradoks-paradoks Pendidikan

Adalah Ujuan Nasional (UN) yang menjadi paradoks pertama pendidikan kita. Meski Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan UN tidak mempunyai dasar rujukan. UN tetap menjelma sebagai barometer kelulusan di sekolah. Alih-alih UN mampu memetakan pendidikan di penjuru negeri. UN justru memetakan berbagai pola kecurangan di penjuru negeri.

Siswa mengalami beban psikologis yang luar biasa. Belajar tidak lagi menjadi kegiatan yang menyenangkan. Alhasil manusia Indonesia di didik mengedepankan hasil dibanding proses. Gaya mekanistik adalah gaya paling ideal untuk pendidikan semacam ini. Karenanya, manusia robot Indonesia bakal meramaikan pasar industri-kapitalis.

Apalagi menengok kesiapan pemerintah tiap kali menggelar UN. Begitu miris melihat carut marut yang dipertontonkan di berbagai media. Sejak UN bergulir sampai berlangsung tahun ini. Pemerintah selalu mempermalukan dirinya sendiri dihadapan publik. Adalah alasan kecurangan massal. Keterlambatan distribusi lembar UN. Saling tuding antara pemerintah dengan pengusaha pelaksana. Bahkan anehnya pemerintah harus repot-repot membuat tim ivestigasi UN. Padahal kesalahan jelas terpampang di depan hidung mereka.

Itulah satu diantara beberapa paradoks pendidikan kita. Paradoks lain adalah mahalnya pendidikan di negeri ini. Ditengah indeks perekonomian Indonesia yang konon naik hingga 6 persen. Pendidikan masih menjadi barang mahal untuk dinikmati oleh semua kalangan. Wajib belajar 9 tahun masih menjadi pepesan kosong di pelosok nusantara. Adalah sejumlah kasus korupsi yang menciderai rasa keperihatinan ini. 

Kasus korupsi yang kian menjadi-jadi belakangan ini. Adalah sebab keperihatinan yang patut kita renungkan dalam-dalam. Dikala bagi sebagian masyarakat bahwa pendidikan adalah barang mewah yang mendapatkannya memerlukan susah payah. Disisi lain koruptor berkerah putih adalah manusia produk pendidikan mahal. Pendidikan di negeri ini kembali menjadi sebuah paradoks bagi masyarakatnya sendiri.

Adalah keberuntungan ketika negeri ini masih memiliki anak di zamannya. Manusia-manusia yang tidak terlebur oleh keadaan. Namun menyadari realitasnya dan berusaha mengubahnya. Kita masih memiliki tokoh itu. Semisal Anis Baswedan yang membaktikan hidupnya bagi pendidikan. Ia memperarkasai lahirnya Indonesia Mengajar. Sebuah program untuk menjamah pendidikan di pelosok negeri. 

Diperlukan Kreativitas

Apabila kualitas pendidikan Indonesia kian nyata kemerosotannya. Dan paradoks pendidikan masih terus membayangi langkah pendidikan di hari esok. Generasi sekarang tidak boleh kalah dengan keadaan yang telah terjadi. Perlu ada kreativitas yang mengubah pola pendidikan yang telah terbangun sedemikian rupa. Awalnya, perlu membangun kritik atas pendidikan yang telah berjalan. Lalu mengimbanginya dengan sebuah kreativitas.

Sebetulnya, apa yang telah dilakukan oleh Anis Baswedan dengan Indonesia Mengajar-nya adalah kreativitas yang patut kita cermati bersama. Disamping kritik yang dapat dia lontarkan secara langsung. Dengan berkreativitas, ia bermaksud menampar kepekaan pemerintah tentang ketidakbecusan mengurusi pendidikan di negeri ini. Disisi lain program semacam ini juga sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Masih banyak kreativitas dalam dunia pendidikan yang patut kita tiru. Semisal, sekolah alam Auliya di Kendal yang memadukan antara nuansa belajar yang ramah lingkungan. Dengan kegemaran anak-anak bermain. Karena manusia tidak boleh lepas dari realitas lingkungan sekitarnya. Mengenalkan peserta didik dengan lingkungan sedini mungkin. Adalah upaya yang patut kita apresiasi. 

Sedangkan menurut Munif Chatib, penulis buku Sekolahnya Manusia, keberhasilan pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh institusi mikro bernama Sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan. Apabila sekolah tersebut unggul. Dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia akan terdongkrak menjadi unggul pula. 

Apabila kita mulai menyadari pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan berbangsa. Pendidikan tidak boleh serta-merta tercampakkan oleh kepentingan segelintir penguasa. Pendidikan sayogianya tetap berperan mencetak manusia yang menyadari kemanusiaannya. Keadaan pendidikan semacam ini hanya dapat diperoleh ketika paradoks-paradoks pendidikan dapat disingkirkan. Sekaligus kreativitas pendidikan perlu lebih dikedepankan dibanding formalitas pendidikan.

Kliwonan, Ngaliyan
Pukul 18.16 WIB, 14 Mei 2013
Sebagai materi Refleksi Hardiknas oleh Bemf Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang



Kamis, 09 Mei 2013

Dibalik Senyum


Adalah senyum yang mampu menaklukkan mata setiap lelaki. Ia adalah telaga bagi musafir cinta. Tak perlu sebab untuk menjelaskan pesonanya. 

Namanya Sinta. Perempuan berkulit kuning langsat dari daerah sejuk pegunungan pantai utara. Ia memiliki paras cantik bak bidadari. Ia adalah primadona desa yang mengundang decak kagum mata lelaki. 

Kecantikannya adalah anugrah dari tuhan. Namun garis kehidupannya adalah misteri tuhan. Ia lahir dari keluarga miskin. Sejak kecil ia telah ditinggal mati oleh ayahnya. Ibunya membesarkannya seorang diri. Beruntungnya, Sinta bukan gadis manja. Ia kerap membantu ibunya menjahit pakaian. Dari penghasilan menjahit, ia dan ibunya menyambung hidup sehari-hari.

Di awal perjalanan hidupnya, Ia kerap dinaungi keberuntungan. Seorang pemuda berpendidikan jatuh hati padanya. Bak gayung bersambut. Sinta juga jatuh hati pada pemuda itu. Pemuda ini bukan seorang yang kaya raya. Namun ia membawa cinta dan kedewasaan. Orang tua Sinta juga menyambut baik pinangan pemuda ini. Tak lama berselang mereka menuju ke pelaminan. Hati para lelaki melihat iri keindahan mahligai rumah tangga yang sedang mereka ikrarkan.

Berbekal pendidikan dan keuletan. Suami Sinta dengan mudah membangun sebuah usaha. Sejumlah deret toko perhiasan berhasil ia dirikan. Hidup berangsur berubah. Sinta dan keluarga menjalani kehidupan serba berkecukupan. Keindahan sebuah keluarga semakin sempurna karena Sinta dianugrahi seorang putri yang cantik.

Garis kehidupan adalah misteri tuhan. Ditengah hidup yang begitu indah dan sempurna. Sang suami divonis dokter terserang penyakit Alzhaimer. Sebuah penyakit yang menyerang saraf memori otak. Penyakit ini masih tergolong langka di Indonesia. Berbagai upaya ditempuh Sinta agar suami dapat sembuh.

Sejumlah pengobatan telah dilakukan. Namun kesembuhan suami belum juga kunjung tiba. Sejumlah kekayaan keluarga mulai terjual. Sederet toko perhiasan mulai terjual satu-persatu. Namun ini tidak menyurutkan langkah Sinta sedikitpun. Sinta memutuskan menjual toko perhiasan terakhir agar suami dapat berobat ke luar negeri. 

Namun nasib siapa yang tahu. Sewaktu operasi berjalan, sang suami menghembuskan nafas terakhir. Kabar kepergian suami ibarat badai di siang hari. Ia tak kuasa menahan tangis air mata. Tatapan matanya mulai redup dan berwarna abu-abu. Sinta jatuh pingsan.

Kini, Sinta tidak lagi memiliki apa-apa. Ia telah kehilangan kasih sayang dan harta benda miliknya. Namun ia tetap bersyukur memiliki seorang puteri yang cantik. Dan seorang ibu yang masih setia mendampinginya. 

Namun rupanya kepahitan hidup belum mau menjauhinya. Ibunya mulai merasa nyeri di payudara. Setelah diperiksakan kepada dokter. Ibu Sinta terkena kanker ganas di payudara. Sinta begitu terpukul mendengar kabar ini. Ia masih ingat betul bagaimana maut merenggut nyawa suaminya. Kali ini dia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya lagi, ibunya.

Berdasarkan keterangan dari dokter. Kanker ganas yang menyerang ibunya masih memungkinkan untuk sembuh. Asal ibu Sinta segera dioperasi. Sedangkan operasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Disisi lain Sinta telah menghabiskan seluruh hartanya untuk pengobatan suami. 

Ditengah situasi sulit. Sinta seolah tidak memiliki tempat bersandar. Ia tidak tahu harus meminjam uang kepada siapa. Paijo, teman sewaktu SD yang pernah ia tolak cintanya datang menawarinya sebuah pinjaman. Paijo bersedia meminjamkan uang dengan satu syarat. Bahwa Sinta harus menekan kontrak pekerjaan dengan Paijo. Tanpa berpikir panjang Sinta menandatangani kontrak pekerjaan tersebut tanpa sempat melihat isi kontrak sebelumnya.

Operasi orang tuanya akhirnya berjalan lancar. Tumor payudara ibunya berhasil diangkat. Paijo kembali menemui Sinta menagih janji. Paijo meminta Sinta agar segera bekerja dengannya. Sinta pun menyanggupi permintaan Paijo. Namun Sinta masih kebingungan terkait pekerjaan apa yang harus dilakukannya.

Betapa kagetnya Sinta sewaktu mendengar dari paijo bahwa dia harus bekerja sebagai wanita pekerja seksual (WPS). Ternyata selama ini Paijo sukses dari bisnis yang mengeksploitasi tubuh wanita ini di kota seberang. Sekuat tenaga Sinta berusaha menolak pekerjaan ini. Namun Paijo mengancam bakal memidanakan Sinta karena telah menekan kontrak. Kontan Sinta merasa ketakutan akan ancaman Paijo. Malam itu Sinta terpaksa merelakan tubuhnya di nikmati Paijo, seorang yang kini paling ia benci di dunia.

Dalam perjalanan waktu, Sinta merasa menderita melalui pekerjaan ini. Pekerjaan yang tidak pernah ia bayangkan sedikitpun akan dilaluinya. Didepan ibu dan anaknya ketika ia pergi beberapa hari dan jarang pulang. Ia beralasan sedang menjalankan bisnis garmen di kota seberang. Ia merasa sakit harus berbohong kepada buah hati dan ibunya. Namun bagaimanapun ia membutuhkan sesuap nasi ditengah kondisi ibunya yang semakin melemah dan puterinya yang kian tumbuh untuk bertahan hidup.

Menjelang tidur ia kerapkali merenungi gelapnya jalan hidup yang telah ia jalani. Ia tidak berani bertanya kepada agamawan tentang jalan yang telah ia pilih. Ia khawatir akan menabrak tembok kekakuan hukum agama. Ia pun tak berani protes terhadap pemerintah. Karena laporan-laporan pemerintah menyatakan indeks ekonomi negeri ini sedang naik.

Lalu diam adalah pilihan terbaik baginya saat ini. Santi mulai membiasakan diri menerima ejekan dan makian atas pekerjaan ini. Toh, ini karena orang-orang itu tidak tahu saja, pikirnya sederhana. 

Dan senyum Santi yang kembali mampu menaklukkan mata setiap lelaki. Ia adalah telaga bagi musafir cinta. Tak perlu sebab untuk menjelaskan pesonanya.

Kliwonan, Ngaliyan
Pukul 02.00 pagi, 09 Mei 2013
sambil ditemani lagu ‘Bebas Merdeka’ dari Steven n’ Coconut trees.
Terinspirasi dari sebuah kisah dari WPS di Resosialisasi Argorejo


Catatan Pinggir di Argorejo


Ditengah malam yang hening ini. Sengaja kuputar sebuah lagu milik band asal Bandung yang telah berubah nama menjadi Noah. Lagu ini berjudul ‘Kupu-kupu malam’. Saya sengaja memilih lagu ini karena teringat telah dua bulan bergabung dengan LSM Griya Asa. LSM yang bergerak dalam bidang kesehatan dan pemberdayaan wanita pekerja seksual (WPS). 

Telah dua bulan pula saya belajar mendampingi WPS di Resosialisasi Argorejo. Atau lebih dikenal dengan nama Lokalisasi Sunan Kuning (SK). Istilah resosialisasi kini telah menggantikan istilah lokalisasi. Alasannya, Resosialisasi berarti berusaha memasyarakatkan kembali WPS. Sedangkan Lokalisasi sekedar merumuskan satu tempat untuk WPS.

Boleh diakui, awalnya adalah semangat menggebu-gebu ketika pertama kali bergabung dengan LSM Griya Asa. Ada pekerjaan mulia yang ingin segera kugarap waktu itu. Apalagi kalau bukan mengupayakan alih profesi bagi WPS. Dalam berjalannya waktu, aku mulai berpikir. Mengupayakan alih profesi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sekedar memberikan label atas pekerjaan mereka.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering mengajak ngobrol kawan-kawan WPS. Saya mencoba menggali alasan mereka memilih pekerjaan ini. Saya mulai belajar memposisikan diri sebagai pendengar yang baik bagi mereka. 

Sejauh ini, saya menemukan beberapa fakta atas latar belakang kehidupan sosial mereka sebelum bekerja di Argorejo. Kebanyakan mereka terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Dari segi pendidikan tidak sedikit yang tamatan SD. Tidak jarang pula mereka mengaku menempuh pekerjaan ini lantaran sakit hati terhadap lelaki.

Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Apa yang dapat aku perbuat disini. Apa yang dapat aku lakukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka. Terbayang orasi-orasi sewaktu masih sering turun kejalan. Aku menuntut perubahan. Namun sekarang aku tak berkutik diatas realitas sosial yang menginginkan perubahan. Aku terdiam. 

Meski demikian, aku belum ingin berhenti di dua bulan ini. Masih ada harapan yang terpantik di dalam aktivitas ini. Adalah janji bahwa mereka tidak akan selamanya bekerja di Argorejo. Mereka masih mendambakan membina sebuah keluarga. Kembali berguna kepada masyarkat luas. Adalah tugasku mendorong harapan ini terlaksana lebih cepat. Sekaligus memastikan saat mereka kembali ke masyarakat dalam keadaan sehat dan masih berdaya. Semoga.


Kliwonan, Ngaliyan
Jam 24. 10 WIB
Setelah melihat foto kegiatan SUM di Argorejo


Selasa, 26 Februari 2013

Menyoal Presensi Kuliah


Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh sejumlah dosen di perguruan tinggi. Tingkat kehadiran dalam satu perkuliahan adalah 75 persen. Ini berarti mahasiswa yang tidak menghadiri perkuliahan diatas tiga kali dinyatakan tidak lulus. Ketentuan ini mengacu kepada metode pemusatan belajar pada keaktifan mahasiswa (student active learning center). Dan sudah berjalan di pelbagai perguruan tinggi. Biasanya, dosen menyampaikan peraturan ini diawal masuk kuliah sebagai kontrak belajar. 

Intensitas mahasiswa menghadiri perkuliahan menjadi sangat penting di perguruan tinggi. Awalnya ini adalah sebuah terobosan di dunia pendidikan. Namun dalam perkembangannya tidak lagi dipandang efektif. Pasalnya ujian semester (US) mengikuti peraturan presensi minimal 75 persen. Konsekuensinya kemampuan akademis mahasiswa hanya diukur melalui tingkat kehadiran dalam perkuliahan saja.

Padahal dari segi penilaian, presensi sekedar mencakup 10 persen. Sedangkan US mencapai sekitar 70 persen dari total 100 persen penilaian. Sisanya 20 persen diambil dari keaktifan ketika perkuliahan sedang berlangsung. 

Jika kita cermati, US bertujuan menguji tingkat kepahaman mahasiswa. Ketika ada mahasiswa yang tidak diijinkan mengikuti US karena alasan presensi. Dosen tidak akan lagi mempunyai kesempatan mengetahui kemampuan sebenarnya dari mahasiswa tersebut. Bisa jadi ia telah merampungkan sejumlah bacaan dari materi kuliah. Namun karena alasan tertentu ia tidak dapat menghadiri perkuliahan sesering yang telah ditentukan.

Alasan lain, banyak negara maju yang telah meninggalkan sistem presensi. Kesadaran mengikuti perkuliahan lebih dikedepankan disini. Seperti di RWTH Aachen Jerman dan sejumlah negara maju lainnya. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai obyek pendidikan yang membutuhkan paksaan dari luar. Sebaliknya, mahasiswa dilihat sebagai subjek pendidikan yang telah sadar pendidikan.

Sudah saatnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi tidak perlu lagi dilihat dari segi presensi semata. Kedisiplinan yang dipaksakan sekedar melahirkan generasi mekanik. Generasi yang tercerabut dari lingkungan sosialnya. ‘Asal hadir kuliah’ adalah wabah yang berpotensi menggerus sisi kreatifitas mahasiswa. Apalagi menilik seabrek kegiatan kampus. Aktivis mahasiswa adalah mahasiswa yang paling keberatan atas kebijakan ini.

Beban Aktivis Mahasiswa 

Banyak aktivis mahasiswa mengeluhkan ketentuan presensi ini. Terutama menyangkut kepadatan jadwal kegiatan. Aktivis mahasiswa kesulitan membagi waktu antara kegiatan dan kuliah. Apalagi ketentuan presensi ini mewajibkan tingkat kehadiran mahasiswa minimal 75 persen. Ini mengakibatkan ruang gerak mahasiswa menjadi terbatas.

Berbagai upaya telah diupayakan aktivis mahasiswa. Seperti mengusulkan pengurangan persentasi minimal kehadiran perkuliahan. Namun upaya ini selalu kandas didepan normatifitas ketentuan presensi. Dosen berpendirian bahwa ini upaya menjadikan mahasiswa lebih rajin mengikuti perkuliahan. Sebaliknya, mahasiswa tidak melihat ini sebagai persoalan ‘malas-rajin’. Namun dalam kerangka pentingnya sebuah kesadaran dalam dunia pendidikan. 

Aktivis mahasiswa tidak mengesampingkan pentingnya perkuliahan. Karena tujuan menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah mencari ilmu melalui perkuliahan. Namun kebanyakan aktivis memegang jabatan struktural yang strategis di kampus. Seperti sebagai pengurus BEM Universitas. Apabila tidak ada keringanan dalam presensi perkuliahan. Bisa ditebak bahwa aktivis mahasiswa ini bakal kesulitan meraih kelulusan dalam pelbagai mata kuliah. Konsekuensinya aktivis mahasiswa seringkali memakan waktu lama dalam merampungkan kuliah.

Sudah sepatutnya ini di insyafi oleh segenap dosen dan pemangku kebijakan kampus. Bahwa seringkali aktivis membawa nama harum perguruan tingginya. Ini juga harus dibalas setimpal dengan memberi keringanan presensi. Aktivis mahasiswa bukan tipikal mahasiswa yang tidak menyukai belajar. Mereka seringkali membaca, berdiskusi, menulis lebih banyak dari mahasiswa lainnya. Bedanya mereka mempunyai banyak kegiatan yang berpotensi tidak dapat memenuhi batas minimal kehadiran perkuliahan.

Kamis, 21 Februari 2013

Ada-Ada Saja (Sekedar Catatan)

Selasa (19/02) kemarin pukul 16.42 WIB ada sebuah sms masuk di inbox saya. Waktu itu saya sedang mengantar  seorang teman ke rental foto copy. Pesan itu dikirim oleh salah seorang satpam yang cukup dekat dengan saya. Isinya begini “Ris, aku mau tanya, kemarin kamu ikut mecahin kaca rektorat tidak?”. “Aku kemarin gak ikut aksi pak, La pripun?” balasku cepat. Selang beberapa saat terdengar suara pesan masuk “Ada pembantu rektor yang tanya”.

Ada-ada saja. Itulah respon pertama saya sewaktu menerima sms dari satpam tadi. Lucu bercampur tanda tanya memenuhi isi kepala. Karena sehari sebelumnya, dua wartawan dari SCTV dan MNC, keduanya sudah kenal saya sebelumnya, menanyakan tentang ‘aksi turunkan rektor’ (istilah yang mereka pakai sewaktu menghubungi saya). setelah bertanya kepada beberapa teman. Kubalas dengan pesan “Ini hubungi korlapnya saja mas” sambil mengirim nomor korlap aksi tersebut. 

Ini bukanlah pengalaman kali pertama. OPAK 2012 adalah contohnya. Dalam Opak yang pembukaan Orseniknya sempat gagal ini saya diberi mandat sebagai Kordinator Orsenik. Posisi yang tidak kalah beratnya dengan ketua Opak karena harus membawahi sembilan belas cabang lomba. 

Persoalan dalam Orsenik kali ini adalah waktu latihan di fakultas yang memakan waktu terlalu lama dan tersendatnya keuangan. Ditengah persoalan ini, dengan kakunya pihak rektorat memutuskan bahwa Orsenik hanya bisa dilaksanakan di hari libur, yaitu hari Sabtu dan Ahad. Padahal sebelumnya telah disepakati di rapat Opak bahwa pelaksanaan Orsenik adalah tanggal 17 dan 18 September, yaitu bertepatan dengan hari Senin dan Selasa.

Ditengah tidak adanya titik temu. Siswoyo, ketua Opak, mengambil inisiatif dengan melobi rektor berulangkali. Namun hasilnya tetap nihil. Sebagai upaya terakhir karena desakan atlit yang mulai kelelahan dan tiap Bem fakultas mengalami defisit. Siswoyo ditemani Anam dan Malik mendatangi rektor dan ‘berjanji’ bahwa Orsenik bakal dilaksanakan di hari libur. Pagi harinya melalui tanda tangan PR III dan ketua Opak akhirnya uang kegiatan Orsenik bisa dicairkan. Namun kemudian hari ‘Janji’ itu dianggap ‘bohong’ oleh pihak rektorat karena pembukaan Orsenik saja yang dilaksanakan di hari libur, Ahad. Sedangkan Orsenik rencananya tetap dilaksanakan di hari Senin dan Selasa.

Akibatnya, Ahad malam sejumlah satpam menelpon saya menyuruh segera ke pos satpam. “Maaf mas ini keputusan atasan. Kami hanya ikut perintah” dalih satpam. Karena paginya satpam berencana mengunci audit, Gor, dan tempat lainnya yang digunakan Orsenik. “Tapi pak ini bakal menyulut emosi mahasiswa yang telah berlatih hampir sebulan lebih” usahaku meyakinkan satpam. “Sekali lagi maaf mas, pahami posisi kami. Kami hanya bawahan yang menjalankan perintah”. Terpancar wajah ketakberdayaan di raut muka satpam tadi.

Mendengar kabar ini. Saya langsung mengadakan rapat darurat dengan mengumpulkan Presiden Dema, Ketua Opak, Beberapa ketua UKM dan beberapa kordinator cabang lomba Orsenik. Sampai jam menunjukkan pukul 02.20 belum ada tanda-tanda ditemukan solusi. Karena banyaknya cabang lomba yang bakal dihelat di Orsenik. Mencari alternatif tempat lain adalah hal yang sangat sulit. Ditengah pikiran yang mulai linglung, segera kutekan nomor Rektor dan PR III. Sampai jam menunjukkan pukul 3 pagi belum ada tanda-tanda jawaban telfon dari seberang sana.

Paginya, Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Pagi yang berisi detik-detik penentuan. Dengan mata berat menahan kantuk. Dan bermodalkan cuci muka saja ku beranikan menghadap PR III seorang diri. Selang menunggu beberapa saat, PR III tiba dan mempersilahkan duduk. Sekali lagi kucoba meyakinkan PR III bahwa Orsenik tidak lagi bisa dibatalkan. Beliau bergeming dan mengajak menemui rektor di kantornya. Belum sempat bertemu rektor kami dihadang oleh PR I dan PR IV di ruang tunggu. 

Penjelasan sekali lagi saya lakukan dihadapan para pembantu rektor. Mereka tetap bergeming sesuai instruksi rektor. Disisi lain, berulangkali pesan masuk ke inbox saya dan mengatakan “Mas, Atlit dan massa rewo-rewo sudah pada datang”, “Sya dimana? Massa tidak lagi bisa dikendalikan”, “Kamu dimana? Satpam tidak lagi bisa mengawal”. Ditengah keadaan yang mendesak dan mulai genting ini. Saya tinggalkan para pembantu rektor dan mengatakan “maaf pak, ini saja yang dapat saya usahakan. Terima kasih”.

Beberapa saat kemudian saya segera sampai di kampus III. Waktu menujukkan pukul 09.25 WIB. Saya lihat beberapa mahasiswa mulai tidak sabar. Dengan jumlah mahasiswa yang cukup besar, berteriak, dan berkumpul di kampus III. Rasanya akan sulit mengendalikan mahasiswa. Kejadian yang tidak diharapkan terjadi juga. Pintu audit dan Gor terpaksa dibobol paksa oleh massa. Akhirnya, Orsenik dapat terselenggara pada hari itu.

Setelah Orsenik berjalan, ditengah sela-sela mengurusi kepanitiaan saya menghampiri beberapa satpam. Saya ucapkan permintaan maaf dan memohon pengertiannya. “Iya mas, kami memahami. Kalian dalam posisi sulit. Makanya kami tidak melawan mahasiswa. Nanti kami yang remuk”, ujar satpam tadi sambil diselingi candaan. “Jangan lupa gembok yang rusak diganti”. “Siap pak”. Jawabku tersenyum sambil pergi meninggalkan satpam.

Setelah Orsenik berlangsung dua hari. Perasaan lega menyelimuti. Beban tanggung jawab terasa plong dan rasanya ingin kembali beraktifitas secara normal. Meski ada beberapa hal yang belum terselesaikan hasil sisa dari Orsenik. Tetapi itu bukan hal yang cukup membingungkan. Sampai tiba waktu seorang teman datang “Ris, aku baru selesai sowan dari salah satu pembantu rektor. Beliau bilang kamu adalah dalang dibalik pendobrakan pintu audit dan Gor. Bakal ada sanksi”. Setelah usai mendengarnya. Kutinggal ia sendirian. Sambil menyusuri jalan ku kuputar lagu Going to Pasalacqua dari Green Day. “Ada-ada saja” batinku.. 

Well, I toss and turn all night/Thinking of your ways of effection/ But to find that it’s not different at all/I throw away my past mistakes/And contemplate my future/ Tha’s when I say../What they hey!