Kamis, 01 Desember 2011

Mahasiswa, Demontrasi, dan Perspektif Masyarakat



Mahasiswa tidak bersenjatakan bedil. Tidak pula bersenjatakan bambu runcing seperti era kemerdekaan. Mahasiswa cukup bersenjatakan megaphone dilengan sambil meneriakkan, Hidup Indonesia! Hidup rakyat Indonesia!

Itu sekelumit ucapan pembakar semangat bagi mahasiswa sebelum turun kejalan. Ibarat seorang pahlawan dalam perang merebut kemerdekaan. Peluh, panas, bahkan darah, terandai siap dibaktikan demi kepentingan bangsa. Mahasiswa seketika merasa begitu memiliki Indonesia, memiliki rakyat, dan begitu geram terhadap para penguasa yang lalim. Ditengah carut marutnya keadaan bangsa mereka seolah mendengar suara panggilan. Suara rakyat menjerit memanggil nama mereka meminta segera dibebaskan dari belenggu kemiskinan. Perasaan berkecamuk itulah yang sering dialami mahasiswa waktu berada dijalan. Saat Demonstrasi.
Namun tak banyak yang percaya itu. Tak sedikit yang mengatakan itu sekedar bualan belaka. Media memperlihatkan mahasiswa hanya tahu bentrok dengan aparat. Di sinetron mahasiswa dikenalkan bergaya glamour dan berkutat dalam persoalan cinta. Lembaga survey berkoar begitu besarnya sarjana pengangguran di Indonesia. Seolah menebar keraguan. Mahasiswa bukan generasi yang dapat diandalkan bahkan tidak cukup dikatakan generasi penerus. Masyarakat perlahan berkesimpulan dan mengambil sikap terhadap anaknya yang akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Silahkan kuliah asal ambil jurusan yang memudahkan mendapatkan pekerjaaan. Boleh kuliah asal jangan ikut-ikutan demonstrasi. Bahkan juga ada orang tua yang melarang anaknya menempuh pendidikan di perguruan tinggi karena khawatir dengan pergaulan mahasiswa yang digambarkan oleh sinetron.
Berbagai ironi itu fakta ditengah masyarakat. Kepercayaan terhadap mahasiswa dan perguruan tinggi mulai terkikis ditengah himpitan kebutuhan ekonomi dan citra yang dibentuk media. Masyarakat menilai sesuatu yang berdampak seketika terhadap kehidupan mereka. Itulah yang diperhitungkan. Suara lantang pembebasan, gerakan menuntut pemerintah yang lalim, serta idealisme yang digemborkan mahasiswa seolah tidak menemukan relevansi ditengah masyarakat. Reformasi setengah matang 1998 ikut bertanggung jawab atas ini. Reformasi mengabarkan berita surga akan datangnya kejayaan Indonesia. Masyarakat terlampau percaya dan akhirnya berujung kecewa. Tak ada perubahan berarti yang dapat dirasakan masyarakat. Reformasi ternyata bukan perubahan dari akar namun perubahan yang dilaksanakan oleh segelintir kaum elit terhadap tatanan pemerintahan dengan jargon kerakyatan. Mereka berganti jubah saja pada waktu itu atas paksaan demontrasi mahasiswa. Begitulah penguasa, serigala berbulu domba. Dan mahasiswa telah lalai mengawal dan menghakimi kejahatan mereka pasca reformasi.
Menyoal Demonstrasi
            Pasca reformasi demonstrasi mulai dipertanyakan kegunaanya. Dewasa ini banyak kalangan menyoal perlunya demonstrasi bahkan dikalangan mahasiswa sendiri. Demonstrasi digambarkan dengan suara lantang tanpa isi. Turun kejalan sekedar menghabiskan waktu luang. Dan oleh media digambarkan sebagai gerakan ricuh. bad news is good news itulah patokan media. Segera setelah itu dimunculkan gerakan alternatif. Sebuah tindakan yang dianggap lebih nyata dan realistis daripada sekedar bicara dan sekedar menuntut perubahan. Gerakan menulis digalakkan sebagai budaya intelektual mahasiswa. Mahasiswa cukup menyatakan kritik mereka melalui tulisan. Dengan tulisan mahasiswa dapat melakukan kritik terhadap pemerintah sekaligus mengasah kecerdasan mereka. Ya, sebagai persiapan menulis skripsi juga.
            Berbagai tawaran lain sebagai pengganti juga banyak disodorkan banyak pihak. Di berbagai media semisal diangkat beberapa kali pendapat mengenai relevansi demonstrasi dan alternatifnya. Semua ikut bersuara dan berpendapat. silih berganti datang usulan dan kritik. Disitu makna demonstrasi terhempit sekaligus menemukan kesegaran konteksnya. Itulah dinamika pergulatan dalam menyoal demonstrasi. ada yang bersepakat, ada juga yang menolak, dan ada pula yang merasa perlu menyegarkan makna demonstrasi ditengah tuntutan zaman.
Rekonstruksi Pemahaman
            Masyarakat tidak dapat menerima argumentasi itu begitu saja. Masyarakat lebih tertarik belajar dari pengalaman mereka. Pengalaman mereka mengatakan aksi mahasiswa sekedar mampu menumbangkan rezim satu dan tak dapat mencegah lahirnya rezim baru. Tak ada perubahan yang mampu digalakkan mahasiswa menuju kesejahteraan. Yang ada hanya perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain dengan keadaan perut tetap lapar. Kalaupun ada perubahan, Perubahan itu sekedar melahirkan bandit-bandit baru dalam demokrasi. Dulu yang tua yang melakukan korupsi sekarang yang muda ikut korupsi. Dulu korupsi hanya berlangsung di pemerintahan pusat sekarang korupsi juga berlangsung merata di seluruh pemerintahan daerah.
            Namun pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Rekonstruksi pemahaman masyarakat terhadap demonstrasi mahasiswa perlu dilakukan disini. Mahasiswa pertama perlu diletakkan sebagai agen perubahan bukan perubah itu sendiri. Perubahan memerlukan partisipasi berbagai elemen dalam masyarakat dan mahasiswa adalah pengantar menuju perubahan itu. Seterusnya demonstrasi perlu dipahami dalam berbagai dimensinya bukan dalam satu dimensi saja yaitu waktu berada dijalan. Ada beberapa pergulatan intelektual yang biasa dilakukan sebelum mahasiswa turun kejalan untuk berdemonstrasi. Diantaranya ialah berdiskusi dan menulis.
            Berdiskusi mutlak diperlukan sebelum demonstrasi. Pembacaan keadaan dan proses analisa dilakukan guna mengetahui keadaan bangsa sebetulnya. Selanjutnya setelah melakukan pembacaan, mahasiswa perlu memutuskan persoalan itu perlu diangkat ditengah-tengah masyarakat atau tidak. Proses menyadarkan dan mendidik masyarakat dilakukan disini. Ada berbagai persoalaan dalam bangsa ini yang harus ketahui dan tak dapat diselesaikan tanpa masyarakat mengetahuinya terlebih dahulu. Itulah tujuan demonstrasi disini, yaitu untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
            Menulis menjadi bagian dalam mengabarkan berita itu kepada masyarakat. Tulisan lebih abadi daripada lisan. Menulis disini bisa dirupakan dalam bentuk press release yang disebarkan waktu berdemonstrasi, atau menulis di media massa sebagai wacana awal sebelum turun kejalan. Maka menjadi naif bila demonstrasi dipandang dalam satu dimensi saja tanpa memperhatikan pergulatan intelektual didalamnya. Bila keseluruhan proses itu dapat dipahami maka demonstrasi akan selalu menemukan relevansinya ditengah masyarakat.
Ya, karena siapa lagi yang sudi memperjuangkan suara rakyat, berani berpeluh dan kadang dihantam oleh aparat keamanan, meneror tidur nyenyak para penguasa korup, dan bersuara lantang dibawah terik matahari. Bukan politisi, bukan dewan legislatif tetapi dia adalah mahasiswa.