Kamis, 01 Desember 2011

Mahasiswa, Demontrasi, dan Perspektif Masyarakat



Mahasiswa tidak bersenjatakan bedil. Tidak pula bersenjatakan bambu runcing seperti era kemerdekaan. Mahasiswa cukup bersenjatakan megaphone dilengan sambil meneriakkan, Hidup Indonesia! Hidup rakyat Indonesia!

Itu sekelumit ucapan pembakar semangat bagi mahasiswa sebelum turun kejalan. Ibarat seorang pahlawan dalam perang merebut kemerdekaan. Peluh, panas, bahkan darah, terandai siap dibaktikan demi kepentingan bangsa. Mahasiswa seketika merasa begitu memiliki Indonesia, memiliki rakyat, dan begitu geram terhadap para penguasa yang lalim. Ditengah carut marutnya keadaan bangsa mereka seolah mendengar suara panggilan. Suara rakyat menjerit memanggil nama mereka meminta segera dibebaskan dari belenggu kemiskinan. Perasaan berkecamuk itulah yang sering dialami mahasiswa waktu berada dijalan. Saat Demonstrasi.
Namun tak banyak yang percaya itu. Tak sedikit yang mengatakan itu sekedar bualan belaka. Media memperlihatkan mahasiswa hanya tahu bentrok dengan aparat. Di sinetron mahasiswa dikenalkan bergaya glamour dan berkutat dalam persoalan cinta. Lembaga survey berkoar begitu besarnya sarjana pengangguran di Indonesia. Seolah menebar keraguan. Mahasiswa bukan generasi yang dapat diandalkan bahkan tidak cukup dikatakan generasi penerus. Masyarakat perlahan berkesimpulan dan mengambil sikap terhadap anaknya yang akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Silahkan kuliah asal ambil jurusan yang memudahkan mendapatkan pekerjaaan. Boleh kuliah asal jangan ikut-ikutan demonstrasi. Bahkan juga ada orang tua yang melarang anaknya menempuh pendidikan di perguruan tinggi karena khawatir dengan pergaulan mahasiswa yang digambarkan oleh sinetron.
Berbagai ironi itu fakta ditengah masyarakat. Kepercayaan terhadap mahasiswa dan perguruan tinggi mulai terkikis ditengah himpitan kebutuhan ekonomi dan citra yang dibentuk media. Masyarakat menilai sesuatu yang berdampak seketika terhadap kehidupan mereka. Itulah yang diperhitungkan. Suara lantang pembebasan, gerakan menuntut pemerintah yang lalim, serta idealisme yang digemborkan mahasiswa seolah tidak menemukan relevansi ditengah masyarakat. Reformasi setengah matang 1998 ikut bertanggung jawab atas ini. Reformasi mengabarkan berita surga akan datangnya kejayaan Indonesia. Masyarakat terlampau percaya dan akhirnya berujung kecewa. Tak ada perubahan berarti yang dapat dirasakan masyarakat. Reformasi ternyata bukan perubahan dari akar namun perubahan yang dilaksanakan oleh segelintir kaum elit terhadap tatanan pemerintahan dengan jargon kerakyatan. Mereka berganti jubah saja pada waktu itu atas paksaan demontrasi mahasiswa. Begitulah penguasa, serigala berbulu domba. Dan mahasiswa telah lalai mengawal dan menghakimi kejahatan mereka pasca reformasi.
Menyoal Demonstrasi
            Pasca reformasi demonstrasi mulai dipertanyakan kegunaanya. Dewasa ini banyak kalangan menyoal perlunya demonstrasi bahkan dikalangan mahasiswa sendiri. Demonstrasi digambarkan dengan suara lantang tanpa isi. Turun kejalan sekedar menghabiskan waktu luang. Dan oleh media digambarkan sebagai gerakan ricuh. bad news is good news itulah patokan media. Segera setelah itu dimunculkan gerakan alternatif. Sebuah tindakan yang dianggap lebih nyata dan realistis daripada sekedar bicara dan sekedar menuntut perubahan. Gerakan menulis digalakkan sebagai budaya intelektual mahasiswa. Mahasiswa cukup menyatakan kritik mereka melalui tulisan. Dengan tulisan mahasiswa dapat melakukan kritik terhadap pemerintah sekaligus mengasah kecerdasan mereka. Ya, sebagai persiapan menulis skripsi juga.
            Berbagai tawaran lain sebagai pengganti juga banyak disodorkan banyak pihak. Di berbagai media semisal diangkat beberapa kali pendapat mengenai relevansi demonstrasi dan alternatifnya. Semua ikut bersuara dan berpendapat. silih berganti datang usulan dan kritik. Disitu makna demonstrasi terhempit sekaligus menemukan kesegaran konteksnya. Itulah dinamika pergulatan dalam menyoal demonstrasi. ada yang bersepakat, ada juga yang menolak, dan ada pula yang merasa perlu menyegarkan makna demonstrasi ditengah tuntutan zaman.
Rekonstruksi Pemahaman
            Masyarakat tidak dapat menerima argumentasi itu begitu saja. Masyarakat lebih tertarik belajar dari pengalaman mereka. Pengalaman mereka mengatakan aksi mahasiswa sekedar mampu menumbangkan rezim satu dan tak dapat mencegah lahirnya rezim baru. Tak ada perubahan yang mampu digalakkan mahasiswa menuju kesejahteraan. Yang ada hanya perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain dengan keadaan perut tetap lapar. Kalaupun ada perubahan, Perubahan itu sekedar melahirkan bandit-bandit baru dalam demokrasi. Dulu yang tua yang melakukan korupsi sekarang yang muda ikut korupsi. Dulu korupsi hanya berlangsung di pemerintahan pusat sekarang korupsi juga berlangsung merata di seluruh pemerintahan daerah.
            Namun pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Rekonstruksi pemahaman masyarakat terhadap demonstrasi mahasiswa perlu dilakukan disini. Mahasiswa pertama perlu diletakkan sebagai agen perubahan bukan perubah itu sendiri. Perubahan memerlukan partisipasi berbagai elemen dalam masyarakat dan mahasiswa adalah pengantar menuju perubahan itu. Seterusnya demonstrasi perlu dipahami dalam berbagai dimensinya bukan dalam satu dimensi saja yaitu waktu berada dijalan. Ada beberapa pergulatan intelektual yang biasa dilakukan sebelum mahasiswa turun kejalan untuk berdemonstrasi. Diantaranya ialah berdiskusi dan menulis.
            Berdiskusi mutlak diperlukan sebelum demonstrasi. Pembacaan keadaan dan proses analisa dilakukan guna mengetahui keadaan bangsa sebetulnya. Selanjutnya setelah melakukan pembacaan, mahasiswa perlu memutuskan persoalan itu perlu diangkat ditengah-tengah masyarakat atau tidak. Proses menyadarkan dan mendidik masyarakat dilakukan disini. Ada berbagai persoalaan dalam bangsa ini yang harus ketahui dan tak dapat diselesaikan tanpa masyarakat mengetahuinya terlebih dahulu. Itulah tujuan demonstrasi disini, yaitu untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
            Menulis menjadi bagian dalam mengabarkan berita itu kepada masyarakat. Tulisan lebih abadi daripada lisan. Menulis disini bisa dirupakan dalam bentuk press release yang disebarkan waktu berdemonstrasi, atau menulis di media massa sebagai wacana awal sebelum turun kejalan. Maka menjadi naif bila demonstrasi dipandang dalam satu dimensi saja tanpa memperhatikan pergulatan intelektual didalamnya. Bila keseluruhan proses itu dapat dipahami maka demonstrasi akan selalu menemukan relevansinya ditengah masyarakat.
Ya, karena siapa lagi yang sudi memperjuangkan suara rakyat, berani berpeluh dan kadang dihantam oleh aparat keamanan, meneror tidur nyenyak para penguasa korup, dan bersuara lantang dibawah terik matahari. Bukan politisi, bukan dewan legislatif tetapi dia adalah mahasiswa.

Rabu, 08 Juni 2011

Gerakan Mahasiswa Di Era Reformasi


Bertepatan hari ini kita memperingati lengsernya rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pergantian orde baru menuju reformasi tak terelakkan berkat perjuangan gerakan mahasiswa waktu itu. Sayangnya perbaikan demi perbaikan belum juga kunjung datang setelah 13 tahun berreformasi. Mahasiswa perlu segera bangkit untuk merajut kembali sebuah gerakan yang relevan dengan kebutuhan bangsa ini.

            Bahkan datang kabar mengejutkan dari lembaga survey Indo Barometer yang menyatakan rakyat Indonesia merasa lebih puas dengan kepemimpinan orde baru daripada kepemimpinan ere reformasi (Kompas, 17/05). Itu seolah menjadi tamparan keras bagi mahasiswa yang telah berupaya memperjuangkan era reformasi. Era reformasi dianggap belum menghasilkan perbaikan dibanding dengan yang telah dicapai oleh orde baru. Kemiskinan dan pengangguran belum juga kunjung terselesaikan di era reformasi ini.
              Cita-cita reformasi yang digalakkan waktu itu guna memerdekakan rakyat dari ketertindasan dan kemiskinan terlupakan begitu saja. Euforia kemenangan atas lengsernya kepemimpinan Soeharto seakan menandai berakhirnya perjuangan gerakan mahasiswa. Keberlanjutkan gerakan mahasiswa waktu itu terputus dengan tiadanya konsep pasca tumbangnya orde baru. Hilangnya musuh bersama membuat gerakan mahasiswa pincang dan tak berdaya karena gerakan mahasiswa waktu itu masih bersifat temporer.
Sebagai mandat sosial tentu mahasiswa perlu segera merajut kembali gerakan bagi rakyat. Gerakan yang tidak sekedar bersifat sementara namun juga bersifat jangka panjang. Kita dapat belajar dari pengalaman gerakan-gerakan sebelumnya dengan sedikit penyegaran dan terobosan baru. Gerakan mahasiswa tidak melulu dilakukan dengan turun kejalan namun juga dapat dilakukan dengan gerakan menulis, gerakan komunitas seperti komunitas sepeda sebagai kepedulian terhadap lingkungan, serta gerakan tanggap bencana.
Menakar Reformasi
Konsepsi reformasi saat ini juga membuka peluang perumusan ulang oleh gerakan mahasiswa secara mendalam dan menyeluruh. Reformasi waktu itu dengan semangat menumbangkan rezim berkuasa belum seluruhnya tuntas. Berakhirnya orde baru hanya berkisar persoalan fisik semata yaitu pergantian oknum dan nama periode saja. Namun persoalan substansial semisal pembangunan mental, karakter, dan sistem sama sekali belum tersentuh.
            Itu terlihat dari semakin merebaknya praktik korupsi di negeri ini pasca tumbangnya orde baru. Bila pada orde baru praktik korupsi hanya terjadi pada pemerintahan pusat namun untuk saat ini praktik korupsi dapat terjadi di sektor mana saja mulai dari kepala desa sampai tingkat presiden. Tentu itu bukan prestasi yang menggembirakan bagi era reformasi dan kehadiran gerakan mahasiswa dibutuhkan disini. Gerakan mahasiswa perlu memutus mata rantai siklus korupsi tersebut dengan menjadi teladan bagi rakyat dan membuat gerakan anti korupsi yang bersih dan bebas dari kepentingan.
            Gerakan tersebut menjadi tantangan berat bagi mahasiswa yang tengah dikepung oleh  gaya hidup hedonis. Mahasiswa disibukkan dengan beragamnya model terbaru dari pasar dan perlahan menjelma menjadi manusia yang mementingkan kesenangan belaka. Belum lagi pola pendidikan di kampus yang menekankan aspek formalitas pendidikan saja. Tentu ini menjadi tantangan internal mahasiswa sendiri yang perlu segera diselesaikan oleh mahasiswa yang masih mencita-citakan perubahan.
              Penakaran kembali reformasi juga perlu dilakukan oleh mahasiswa. Reformasi Sejauh hanya pergantian oknum dan bukan pada tatanan yang berlangsung hanya akan menyebabkan kemandulan perubahan. Karena sejatinya reformasi datang bukan dari bawah namun dari kaum elit yang berhak mereformasi tatanannya. Kita lihat saja reformasi kejaksaan, reformasi perpajakan, serta reformasi kepolisian belum menghasilkan suatu hal yang patut dibanggakan.
Merajut Kembali Gerakan Mahasiswa
            Ditengah krisis multidimensi negeri ini mahasiswa perlu hadir untuk menyelesaikan persoalan bangsanya. Perlu perbaikan disegala sektor sebagai penunjang kemandirian bangsa. Gerakan mahasiswa perlu digalakkan kembali sebagai wujud kritik terhadap pemerintah yang mengabaikan rakyatnya dan menjadi garda terdepan menuju kesejahteraan. Mahasiswa harus berani memperoleh kepercayaan rakyat kembali sebagai agen perubahan bukan lagi sekedar generasi yang mampu bicara saja.
            Turun kejalan menjadi sebuah keharusan bagi gerakan mahasiswa. Tanpa turun kejalan maka posisi daya tawar mahasiwa terhadap pemerintah akan melemah. Turun kejalan tidak dapat dimaknai sebagai gerakan seporadis yang tidak memenuhi unsur intelektualitas. Dalam proses aksi sebelum turun kejalan ada kajian isu yang akan diangkat ke publik. Dan tanpa data dan tujuan yang valid maka turun kejalan sebagai gerakan mahasiswa akan sulit terealisasikan.
            Elegansi gerakan juga perlu dipertimbangkan dewasa ini. Gerakan sebagai terobosan penyeimbang turun kejalan juga perlu digalakkan. Gerakan komunitas adalah alternatif ditengah hambarnya gerakan turun kejalan oleh mahasiswa. Dengan komunitas mahasiswa dapat saling bahu membahu mencapai perubahan dan itu akan memudahkan mahasiswa sendiri dalam mendapat simpati dari rakyat. Semisal membuat komunitas sepeda sebagai wujud kecintaan terhadap lingkungan. Mahasiswa memang harus menjadi awal perubahan karena selain memiliki semangat muda, mahasiswa juga dianugrahi pendidikan yang tinggi.
            Gerakan pendidikan juga tidak kalah penting dibandingkan gerakan-gerakan yang telah penulis sebutkan diatas. Mahasiswa perlu mengejawantahkan teori yang diperoleh dari kampus kedalam lingkungan sekitarnya. Ilmu tanpa dilaksanakan tentu bagaikan pohon yang tak berbuah. Mahasiswa patut ikut mencerdaskan bangsanya dengan ikut megajar anak jalanan yang putus sekolah. Kita juga dapat belajar dari film Lucunya Negeri Ini yang mengisahkan pendidikan terhadap anak jalanan yang terpaksa berprofesi sebagai pencopet.
              Gerakan mahasiswa segeralah bangkit demi menciptakan kemandirian bangsa Indonesia. Siapa lagi yang sudi memperakarsai perubahan kalau bukan gerakan mahasiswa yang masih bersih dari kepentingan. Maka Bangkitlah.

Bahaya Radikalisme Agama

Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal itu dikarenakan dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan islam sendiri. Dalam kehidupan berbangsa kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama. Bagi islam sendiri itu berarti penyempitan pemahaman akan islam. Pemahaman berbeda terhadap ideologi tertentu akan dianggap menyimpang dari islam dan harus dibungkam.

            Hadirnya semangat menjadikan islam sebagai agama sekaligus negara kembali merisaukan belakangan ini. Gerakan yang lebih dikenal dengan gerakan radikalisme agama  mulai menemukan caranya dalam menyebarkan ajarannya. Gerakan ini dikatakan radikal karena lebih mengedepankan pemahaman literal terhadap teks dan cenderung mudah menggunakan kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka. Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam menyampaikan ajarannya hanya melalui jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan bom bunuh dirinya, dan terbukti gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu jalan evolusioner.
            Itu dapat terlihat dengan munculnya partai politik yang ikut mengusung cita-cita berdirinya negara islam. Jalan evolusioner merupakan jalan halus yang akan memberdaya siapa saja yang tidak terbiasa kritis terutama menyangkut soal penggunaan bahasa semisal dengan mengusung jargon partai dakwah, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar maka umat muslim akan mudah bersimpati pada mereka. Kelak dari suara demi suara tersebut partai politik itu akan mengunakan posisinya di parlemen untuk menggapai tujuannya. Keberhasilan partai politik tersebut dalam mengusung agenda formalisasi agama akan ikut serta membentuk masa depan Indonesia.
            Demi mencegah formalisasi agama yang hanya akan membatasi keluasan islam dalam bungkus satu ideologi saja maka organisasi massa (ormas) yang telah ada sebelumnya di Indonesia ikut mengambil sikap cepat. Itu terlihat dengan terbitnya surat keputusan pimpinan pusat (SKPP) Nomor 149/Kep./I.0/B/2006 oleh pimpinan pusat (PP) Muhammadiyah tentang penyelamatan organisasi dan perlunya pembebasan organisasi dari pengaruh partai politik seperti PKS. Seperti tidak mau kalah cepat Nahdlatul Ulama (NU) juga mengeluarkan fatwa bahwa pendirian negara islam tidak mempunyai rujukan teologis baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
            Dipandang dari segi kuantitas sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari masa depan islam di Indonesia. Survey tahun 2000 mencatat jumlah penduduk muslim di Indonesia hampir mencapai 89 persen. Persoalannya adalah ketika masyarakat umum yang pendidikan agamanya relatif rendah dihadapkan dengan bahasa sederhana dan simbol agama yang diklaim lebih islami. Sebut saja kata jihad yang banyak disalah artikan oleh kelompok garis keras, kata jihad dimaknai begitu saja dengan perang. Padahal jihad bila diartikan dalam bahasa Indonesia bukanlah berarti perang namun mempunyai arti bersungguh-sungguh. Jihad fi sabilillah pada masa awal islam yang berarti berperang seharusnya dimaknai bersungguh-sungguh dalam berperang seperti bersungguh-sungguh dalam belajar, jadi penekanan katanya bukan dalam kata berperang atau belajarnya tapi berada dalam kata bersungguh-sungguhnya.
Mencegah Masuk Kampus
            Tidak berhenti disitu saja golongan radikalisme agama juga berupaya menyebarkan ideologi mereka ke setiap sektor dan kampus adalah salah satu tempat yang terpilih untuk menyemaikan ideologi mereka. Kampus dipilih karena disitu terdapat banyak mahasiswa yang dilihat dari segi mentalitas tergolong masih labil dan mudah terpengaruh. Kaum muda dianggap berpotensi dalam meneruskan gerakan negara islam karena selain berpendidikan pemahaman mereka terhadap islam juga relatif dangkal. Dengan beberapa dalih simbol agama seperti janggut, kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, maka tidak sedikit  mahasiswa terutama dari universitas umum yang telah terjerumus dalam ideologi tersebut.
            Terbaru adalah kasus Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat menggemparkan negeri ini dengan meghilangnnya beberapa mahasiswa dari berbagai universitas. Banyak mahasiswa yang terekrut dalam jaringan NII dan ikut menjadi agen penyebar paham radikalisme agama. Untuk itu gerakan radikalisme agama tidak boleh begitu saja dianggap remeh karena seekor singa yang berbahaya duhulu juga pernah kecil. Penulis juga pernah berdiskusi dengan Hadi, mantan kordinator wilayah (KW) II NII di suatu forum diskusi lesehan, beliau mengatakan bahwa tidak sedikit warga IAIN Walisongo yang dahulu telah berhasil direkrutnya baik itu berupa dosen maupun mahasiswa.
            Cukup mengherankan sebenarnya apa yang dikatakan Hadi karena IAIN sebagai sentral pendidikan Islam di Semarang dapat terasuki golongan radikalisme agama. Bila penyusupan tersebut betul maka seluruh civitas akademika perlu bergerak cepat untuk membendung menyebarnya paham radikalisme agama tersebut. Namun jika peryataan hadi hanya bualan belaka maka ini dapat menjadi bahan refleksi bagi mahasiswa untuk memikirkan saudaranya di lain kampus yang pemahaman agamanya dangkal sehingga tidak menutup kemungkinan akan mudah terbujuk dengan simbol agama yang selalu diteriakkan oleh golongan garis keras.
Dari perspektif ini penulis berpandangan boleh jadi munculnya gagasan mengubah islam kedalam negara karena semangat berlebihan tanpa dibarengi pengetahuan agama yang memadai. Berawal dari situ maka dimunculkan klaim kebenaran tunggal untuk menghindari pemahaman lain yang berseberangan. Pandangan yang berbeda atau bersebrangan harus diberangus dan dianggap sesat. Selanjutnya agama dijadikan dalih terhadap pemahaman literal mereka sehingga tanpa mereka sadari apa yang mereka perjuangkan adalah ideologi mereka dan bukan islam itu sendiri.
Karena itu alasan utama menolak radikalisme agama ialah untuk mengembalikan wajah islam yang penuh rahmat sekaligus menyelamatkan NKRI dari keterpecahbelahan. Mahasiswa perlu hadir disini untuk mewujudkan islam yang lebih moderat dan akomodatif terhadap kekayaan budaya nusantara. Islam yang terbuka dan tidak meneriakkan kekerasan adalah kunci perdamaian di Indonesia sehingga gerakan radikalisme agama yang hanya menekankan sisi luar dari islam tidak akan pernah menemukan relevansinya di negeri ini.

Senin, 10 Januari 2011

”Jalan Baru” Aksi Mahasiswa Yang Usang

Tulisan Hendra Sugiantoro berjudul ”“jalan Baru” Aksi Mahasiswa” (Suara Merdeka, 4/12) mencerahkan di sisi lain namun juga menyesatkan di sisi yag lain. Dalam tulisan tersebut Hendra mencoba menawarkan sebuah ”jalan baru” aksi mahasiswa yaitu dengan menggiatkan kembali tradisi intelektual. Sebetulnya wacana penggiatan kembali tradisi intelektual sama sekali bukan jalan baru bagi aksi mahasiswa namun telah menjadi bagian dari aksi mahasiswa yang berlangsung selama ini.
Dalam tulisan tersebut ada beberapa poin bahasan yang coba Hendra sampaikan terkait demonstrasi. Menjadi keperihatinan Hendra adalah mahasiswa lebih memilih untuk turun kejalan meski tidak memahami isu dan persoalan secara mendalam. Ini tidak bisa dibenarkan secara keseluruhan. Justru dengan turun kejalan mahasiswa dapat merasakan panasnya terik matahari seperti yang dirasakan rakyat dalam hidup keseharian. Itu memunculkan keperihatinan dari diri mahasiswa untuk tulus memperjuangkan rakyat. Intisari belajar dengan bertindak menjadi nilai tambah demonstrasi dibanding metode lain semisal karya tulis yang terkadang berisi teori besar namun kosong dalam tindakan.
Meski demikian penulis tidak bisa menafikan pentingnya memahami persoalan dan isu yang berkembang. Proses membaca, berdiskusi, dan menulis yang coba Hendra tawarkan justru termasuk dalam bagian demonstrasi. Demonstrasi tidak bisa di pahami dan direduksi menjadi gerakan turun kejalan saja. Sebelum demonstrasi pembahasan latar belakang aksi harus terlebih dahulu selesai. Kenapa harus demonstrasi? isu apa yang perlu digulirkan? Dan target apa yang perlu dicapai dalam demonstrasi? menjadi rentetan pembahasan yang tidak asing lagi sebelum turun kejalan.
Menulis juga turut andil dalam proses demonstrasi. Menulis dibutuhkan untuk membuat selembaran yang berisikan isu yang diangkat dan respon mahasiswa terhadap isu tersebut. Itu bermaksud menjembatani masyarakat atau wartawan yang tidak sempat mengikuti proses demonstrasi secara keseluruhan. Maka menjadi aneh bila demonstrasi dimaknai sekedar turun kejalan tanpa ada tradisi intelektual didalamnya.
Demonstrasi Masih Relevan Saat Ini
Harapan Hendra agar mahasiswa kembali menggalakkan tradisi intelektual patut untuk kita amini. Kegiatan menulis baik pada media massa cetak maupun media online juga patut diperhitungkan. Meski demikian timbul kegelisahan dalam diri Hendra karena antara mahasiswa yang bersedia menulis dengan kuantitas mahasiswa di kampus tidak sebanding. Itu menjadi wajar saat kita melihat gambaran besar kehidupan. Kelebihan dan kekurangan tercipta untuk saling melengkapi. Terpenting adalah mahasiswa yang merasa masih peduli terhadap nasib rakyat untuk tidak lelah menyuarkan pembebasan atas penindasan pemerintah selama ini.
Dan, saat kita mencoba melihat gerakan mahasiswa. Bisa dikatakan domonstrasi masih tetap relevan bagi mahasiswa sejauh ini. Gerakan mahasiswa terbukti mampu menggulingkan rezim diktator di berbagai belahan dunia. Sebut saja penggulingan rezim Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979 dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Maka menjadi ironi bila mahasiswa harus dihadapkan antara dua pilihan yaitu tradisi intelektual atau demonstrasi yang sebetulnya saling melengkapi perjuangan mahasiswa.
Bila alasan kerusuhan yang belakangan terjadi adalah sebab tidak relevannya demonstrasi saat ini maka itu perlu dikaji kembali. Dalam berbagi diskusi yang penulis ikuti kebanyakan mahasiswa berpendapat kericuhan tidak lain kecuali soal pencitraan. Bad news is good news menjadi alasan media lebih tertarik meliput demonstrasi yang berujung ricuh dibanding demonstrasi yang berakhir damai. Kericuhan dalam demonstrasi juga tidak seharusnya digeneralisir pada seluruh aksi mahasiswa. Setiap mahasiswa di berbagai penjuru negeri mempunyai kecenderungan berbeda dalam berdemonstrasi, semisal demonstrasi di jawa lebih cenderung untuk banyak ber-orasi daripada demonstrasi yang berada di Makasar.
Maka tiada pilihan bagi mahasiswa untuk tetap menggalakkan demonstrasi. Demonstrasi tidak harus berujung ricuh karena simpati masyarakat hanya bisa didapat jika demonstrasi berjalan damai dan menarik. Juga Indonesia tidak lagi bisa menunggu teori besar dalam menara gading namun membutuhkan tindakan nyata dari mahasiswa sebagai garda terdepan perubahan guna terciptanya harapan bangsa yaitu bangsa yang gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja. Waallahua’lam.