Rabu, 22 Februari 2012

Rekonstruksi Revolusi Indonesia


Revolusi rakyat baru saja usai bergelora di kawasan Timur Tengah. Berawal di Tunisia kemudian dengan cepat merambah ke Mesir dan Libya. Para penguasa Timur Tengah akhirnya limbung dihantam revolusi rakyat. Mohammed Bouazizi adalah tokoh nyata penggerak revolusi ini. Seorang penjual buah yang membakar diri karena protes kepada pemerintah. Di Indonesia disusul aksi bakar diri Sondang didepan istana negara. Akankah muncul revolusi di Indonesia? 

            Mohammed Bouazizi adalah seorang pemuda Tunisia yang kehidupannya hancur karena sikap pemerintah. Barang dagangan Bouazizi dirampas dan dia ditendang polisi karena berusaha mempertahankan dagangannya. Tidak terima dengan perlakuan tersebut dia berusaha menemui pemerintah provinsi untuk mempertanyakan nasibnya. Pemerintah menolak bertemu dan mengusir kedatangan Bouazizi. Merasa marah terhadap kesewenangan pemerintah dia melakukan protes dengan membakar diri didepan kantor Gubernur. Aksi Bouazizi akhirnya memicu kemarahan dan solidaritas rakyat Tunisia yang berlanjut pada aksi pembakaran dan penjarahan diseluruh Tunisia. Tak lama berselang Presiden Tunisia, Ben Ali dipaksa turun dari jabatannya oleh revolusi rakyat Tunisia. Revolusi Tunisia yang dikenal dengan revolusi melati dengan cepat merembet ke Mesir dan Libya. Pemerintahan diktator kini bertumbangan satu persatu di Timur tengah.
            Beberapa waktu kemudian aksi serupa terjadi di Indonesia. Kali ini aksi tersebut dimotori oleh mahasiswa, Sondang Hutagalung. Sondang melakukan aksi bakar diri bertepatan pada hari Anti Korupsi se-dunia didepan istana negara. Motif Sondang bakar diri diduga kuat akibat kecewa terhadap ketidakadilan pemerintah dan kemiskinan yang menghimpit rakyat Indonesia. Itu berdasar pada catatan yang ditinggalkan Sondang yang berisi permintaan maaf dan kutukan terhadap pemerintah yang lalim (Kompas 19/01). Banyak yang menyesalkan aksi bakar diri Sondang karena aksi tersebut dianggap diluar kewajaran. Sebaliknya penulis lebih menyesalkan dampak aksi Sondang yang tidak terlalu signifikan terhadap tindakan korup pemerintah. Lihat saja kasus Wisma Atlit yang terus berlarut-larut karena melibatkan elit politik sedangkan pembantaian rakyat terus saja terjadi di areal pertambangan dan persengketaan tanah.
 Menggagas Revolusi Indonesia
            Revolusi merupakan suatu perubahan yang sangat cepat. Perubahan ini bisa menuju pada perubahan yang lebih baik dari yang sebelumnya atau sebaliknya. Konteks Indonesia, Revolusi terjadi pada saat negara ini mengalami krisis sosial dan politik dengan intensitas yang tinggi. Krisis disebabkan karena ada perasaan tidak aman dan penuh kegelisahan yang menyangkut kelangsungan hidup masyarakat. Terjadinya revolusi biasanya disebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan pemerintah. Kesengsaraan dan kemelaratan yang rakyat hadapi selama ini adalah akibat dari ketidakmampuan pemerintah mengelola negara sekaligus tindakan korup dari para pejabatnya.
            Dalam kasus Sondang, aksi tersebut ditujukan kepada pemerintah sebagai komunikasi politik karena bertepatan dengan hari anti korupsi se-dunia dan dilakukan didepan gedung istana negara.            Sondang berharap pemerintah membuka mata terhadap berbagai kasus korupsi yang menyeret elit parpol dan pejabat pemerintahan. Bila pemerintah tidak mampu membuka mata maka Sondang berharap aksinya dapat membuka mata rakyat bahwa pemerintah telah gagal. Revolusi perlu digagas disini agar perubahan segera terwujud. Gagasan revolusi perlu dimunculkan guna mengikat emosional masyarakat terhadap kondisi negara yang mulai krisis. Sebab-sebab yang memperkuat alasan revolusi adalah mencakup persamaan hidup rakyat yang telah terlindas kepentingan penguasa.
            Pada kasus agraria pemerintah menumbalkan rakyat demi kepentingan pengusaha. Kasus Mesuji menelan banyak korban sipil karena pemerintah melakukan pendekatan militer. Selain itu kasus pertambangan juga merugikan rakyat banyak dan hanya menguntungkan segelintir pengusaha. Berdasar catatan Kompas, usaha pertambangan di Indonesia hingga saat ini lebih banyak memicu beragam masalah serius, mulai dari pelanggaran aturan dan hukum, konflik sosial dan horizontal, kerusakan lingkungan, hingga tindakan kriminal dan kekerasan (Kompas, 20/02). Masih berdasar catatan Kompas, sepanjang tahun 2010 sampai 2011 terdapat empat belas konflik besar pertambangan didelapan provinsi yaitu Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa barat.
            Bila mengacu kepada pemerintahan yang bersih (clean goverment) Pemerintah Indonesia seharusnya berkaca kepada pemerintahan Jerman. Dalam kurun dua tahun Jerman telah kehilangan dua presiden. Bukan karena meninggal melainkan karena mengundurkan diri. Presiden Jerman Horst Koehler mengundurkan diri karena dikritik media terkait dengan komentarnya terhadap peran militer Jerman sedangkan pengganti Horst Koehler, yakni Christian Wulff  baru saja mengundurkan diri setelah kasus korupsinya tercium oleh media. Berbeda dengan Indonesia meski kasus korupsi telah berulangkali menyeret nama menteri dan pimpinan partai pemenang pemilu tidak ada indikasi bakal ada pengunduran diri presiden. Sekarang tinggal dua pilihan yang dapat rakyat ajukan bagi penguasa yaitu mundur atau gerakan massa yang akan menumbangkan.
Konsolidisasi Gerakan Massa
            Gerakan massa adalah gerakan yang paling efektif dalam menumbangkan rezim penguasa. Mahasiswa tercatat pernah menumbangkan kekuasaan melalui aksi revolusi. Tahun 1966 organisasi mahasiswa yang meliputi PMII, PMKRI, HMI, GMKI, SOMAL, Mapancas, dan IPMI telah bersatu dalam payung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI). Konsolidasi gerakan massa ini mampu membangun kepercayaan masyarakat. Tak lama kemudian penguasa negeri ini tumbang ditangan revolusi mahasiswa.
            Kemudian pada tahun 1998 mahasiswa menuntut reformasi dan pemberantasan KKN. lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Seperti ditegaskan Tan Malaka dalam Aksi Massa, Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan ekonomi dan menunjukkan kepada musuh berapa besarnya kekuatan kita. "Bila semboyan dan tuntutan" sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan benteng - benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.
            Bila mengamati krisis Indonesia di setiap sektor saat ini. Konsolidasi gerakan massa perlu digalakkan. Organisasi mahasiswa beragam dan perlu bersatu merebut kekuasaan bagi rakyat. Gerakan massa juga mulai terkonsolidasikan lewat jejaring sosial seperti yang pernah dilakukan di Tunisia. Konsep integrasi tak terpisahkan antara teori dan peraktek revolusioner tinggal menunggu waktu bila kekuatan mahasiswa dan rakyat bersatu. Tunggu apa lagi bila momentum itu telah tiba. Mari kita sambut revolusi. Kita punya penguasa yang lalim dan rakyat tertindas yang bangkit melawan. Bila negara terlalu sulit bagaimana jika kita mulai dari kampus, bukan begitu?
 
                                                       * M. Risya Islami, Pegiat diskusi Labiba

Selasa, 21 Februari 2012

Kebijakan Yang Keliru

Kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menelurkan beberapa kebijakan baru. Bermula dari Mendikbud M. Nuh menetapkan hasil UN sebagai syarat masuk perguruan tinggi disusul kebijakan dari Dirjen Dikti Djoko Susanto tentang kewajiban publikasi karya ilmiah bagi mahasiswa pasca lulusan Agustus 2012. Melihat lesunya pendidikan nasional kebijakan ini bisa dikatakan sebagai upaya gebrakan dari Kemendikbud. Isi surat edaran Dirjen Dikti juga secara tegas menyatakan tujuan kewajiban Publikasi Makalah yaitu mengejar ketertinggalan dari Malaysia.
Kita perlu menghargai kebijakan ini meski dilain sisi juga perlu mempertanyakan tingkat keefektifannya. Kebijakan publikasi karya ilmiah memang ditujukan guna meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa. Bagi mahasiswa jenjang S2 dan S3 barangkali kebijakan ini bukan perkara besar karena telah ada kebijakan serupa sebelumnya. Berbeda bagi mahasiswa S1 kebijakan ini dapat berubah menjadi petaka karena mahasiswa harus menggarap skripsi dan karya ilmiah sekaligus. Apalagi menilik fakta pembuatan skripsi sejauh ini praktik plagiatisme sudah lumrah terjadi. Kebijakan publikasi makalah jika dipaksakan untuk diterapkan tanpa persiapan matang dikhawatirkan bukan akan menumbuhkan budaya menulis sebaliknya akan semakin menyuburkan budaya plagiatisme dalam kampus.
            Bakat dan minat mahasiswa juga berbeda. Syarat kelulusan yang hanya menitik beratkan pada menulis juga perlu dikaji ulang. Budaya akademisi seakan-akan hanya dapat terwakili oleh menulis. Bagi mahasiswa yang sering berkecimpung dalam dunia tulis-menulis atau aktif di lembaga pers mahasiswa tentu tidak akan keberatan pada syarat kelulusan berupa skripsi atau publikasi karya ilmiah. Tetapi bagaimana dengan mahasiswa yang menyukai bidang lain seperti kesenian, teater, olahraga, atau orasi? Apakah bakat tersebut tidak cukup mewakili budaya kampus? sehingga syarat kelulusan harus disamaratakan berupa bakat menulis saja. Kemendikbud kedepan perlu mempertimbangkan kembali kebijakan syarat kelulusan yang lebih akomodatif terhadap berbagai bakat minat mahasiswa yang beragam.
            Tidak berhenti disitu. Kebijakan publikasi karya ilmiah juga bakal terkendala daya tampung jurnal ilmiah. Bila lulusan tiap perguruan tinggi biasanya mencapai ribuan tiap tahunnya maka jurnal ilmiah bakal kewalahan menampung tulisan mahasiswa. Akibatnya Jurnal ilmiah tidak lagi memerhatikan kualitas tulisan-tulisan tersebut tetapi sekedar bagaimana agar karya tulis dapat termuat dalam jurnal. Sayogyanya bila publikasi karya ilmiah adalah upaya meningkatkan budaya menulis maka kiranya cukup sebagai penambah nilai kelulusan mahasiswa saja. Jika tidak kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang keliru, bukan begitu?

*Termuat di Suara Merdeka, 03 Maret 2012