Rabu, 08 Juni 2011

Gerakan Mahasiswa Di Era Reformasi


Bertepatan hari ini kita memperingati lengsernya rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pergantian orde baru menuju reformasi tak terelakkan berkat perjuangan gerakan mahasiswa waktu itu. Sayangnya perbaikan demi perbaikan belum juga kunjung datang setelah 13 tahun berreformasi. Mahasiswa perlu segera bangkit untuk merajut kembali sebuah gerakan yang relevan dengan kebutuhan bangsa ini.

            Bahkan datang kabar mengejutkan dari lembaga survey Indo Barometer yang menyatakan rakyat Indonesia merasa lebih puas dengan kepemimpinan orde baru daripada kepemimpinan ere reformasi (Kompas, 17/05). Itu seolah menjadi tamparan keras bagi mahasiswa yang telah berupaya memperjuangkan era reformasi. Era reformasi dianggap belum menghasilkan perbaikan dibanding dengan yang telah dicapai oleh orde baru. Kemiskinan dan pengangguran belum juga kunjung terselesaikan di era reformasi ini.
              Cita-cita reformasi yang digalakkan waktu itu guna memerdekakan rakyat dari ketertindasan dan kemiskinan terlupakan begitu saja. Euforia kemenangan atas lengsernya kepemimpinan Soeharto seakan menandai berakhirnya perjuangan gerakan mahasiswa. Keberlanjutkan gerakan mahasiswa waktu itu terputus dengan tiadanya konsep pasca tumbangnya orde baru. Hilangnya musuh bersama membuat gerakan mahasiswa pincang dan tak berdaya karena gerakan mahasiswa waktu itu masih bersifat temporer.
Sebagai mandat sosial tentu mahasiswa perlu segera merajut kembali gerakan bagi rakyat. Gerakan yang tidak sekedar bersifat sementara namun juga bersifat jangka panjang. Kita dapat belajar dari pengalaman gerakan-gerakan sebelumnya dengan sedikit penyegaran dan terobosan baru. Gerakan mahasiswa tidak melulu dilakukan dengan turun kejalan namun juga dapat dilakukan dengan gerakan menulis, gerakan komunitas seperti komunitas sepeda sebagai kepedulian terhadap lingkungan, serta gerakan tanggap bencana.
Menakar Reformasi
Konsepsi reformasi saat ini juga membuka peluang perumusan ulang oleh gerakan mahasiswa secara mendalam dan menyeluruh. Reformasi waktu itu dengan semangat menumbangkan rezim berkuasa belum seluruhnya tuntas. Berakhirnya orde baru hanya berkisar persoalan fisik semata yaitu pergantian oknum dan nama periode saja. Namun persoalan substansial semisal pembangunan mental, karakter, dan sistem sama sekali belum tersentuh.
            Itu terlihat dari semakin merebaknya praktik korupsi di negeri ini pasca tumbangnya orde baru. Bila pada orde baru praktik korupsi hanya terjadi pada pemerintahan pusat namun untuk saat ini praktik korupsi dapat terjadi di sektor mana saja mulai dari kepala desa sampai tingkat presiden. Tentu itu bukan prestasi yang menggembirakan bagi era reformasi dan kehadiran gerakan mahasiswa dibutuhkan disini. Gerakan mahasiswa perlu memutus mata rantai siklus korupsi tersebut dengan menjadi teladan bagi rakyat dan membuat gerakan anti korupsi yang bersih dan bebas dari kepentingan.
            Gerakan tersebut menjadi tantangan berat bagi mahasiswa yang tengah dikepung oleh  gaya hidup hedonis. Mahasiswa disibukkan dengan beragamnya model terbaru dari pasar dan perlahan menjelma menjadi manusia yang mementingkan kesenangan belaka. Belum lagi pola pendidikan di kampus yang menekankan aspek formalitas pendidikan saja. Tentu ini menjadi tantangan internal mahasiswa sendiri yang perlu segera diselesaikan oleh mahasiswa yang masih mencita-citakan perubahan.
              Penakaran kembali reformasi juga perlu dilakukan oleh mahasiswa. Reformasi Sejauh hanya pergantian oknum dan bukan pada tatanan yang berlangsung hanya akan menyebabkan kemandulan perubahan. Karena sejatinya reformasi datang bukan dari bawah namun dari kaum elit yang berhak mereformasi tatanannya. Kita lihat saja reformasi kejaksaan, reformasi perpajakan, serta reformasi kepolisian belum menghasilkan suatu hal yang patut dibanggakan.
Merajut Kembali Gerakan Mahasiswa
            Ditengah krisis multidimensi negeri ini mahasiswa perlu hadir untuk menyelesaikan persoalan bangsanya. Perlu perbaikan disegala sektor sebagai penunjang kemandirian bangsa. Gerakan mahasiswa perlu digalakkan kembali sebagai wujud kritik terhadap pemerintah yang mengabaikan rakyatnya dan menjadi garda terdepan menuju kesejahteraan. Mahasiswa harus berani memperoleh kepercayaan rakyat kembali sebagai agen perubahan bukan lagi sekedar generasi yang mampu bicara saja.
            Turun kejalan menjadi sebuah keharusan bagi gerakan mahasiswa. Tanpa turun kejalan maka posisi daya tawar mahasiwa terhadap pemerintah akan melemah. Turun kejalan tidak dapat dimaknai sebagai gerakan seporadis yang tidak memenuhi unsur intelektualitas. Dalam proses aksi sebelum turun kejalan ada kajian isu yang akan diangkat ke publik. Dan tanpa data dan tujuan yang valid maka turun kejalan sebagai gerakan mahasiswa akan sulit terealisasikan.
            Elegansi gerakan juga perlu dipertimbangkan dewasa ini. Gerakan sebagai terobosan penyeimbang turun kejalan juga perlu digalakkan. Gerakan komunitas adalah alternatif ditengah hambarnya gerakan turun kejalan oleh mahasiswa. Dengan komunitas mahasiswa dapat saling bahu membahu mencapai perubahan dan itu akan memudahkan mahasiswa sendiri dalam mendapat simpati dari rakyat. Semisal membuat komunitas sepeda sebagai wujud kecintaan terhadap lingkungan. Mahasiswa memang harus menjadi awal perubahan karena selain memiliki semangat muda, mahasiswa juga dianugrahi pendidikan yang tinggi.
            Gerakan pendidikan juga tidak kalah penting dibandingkan gerakan-gerakan yang telah penulis sebutkan diatas. Mahasiswa perlu mengejawantahkan teori yang diperoleh dari kampus kedalam lingkungan sekitarnya. Ilmu tanpa dilaksanakan tentu bagaikan pohon yang tak berbuah. Mahasiswa patut ikut mencerdaskan bangsanya dengan ikut megajar anak jalanan yang putus sekolah. Kita juga dapat belajar dari film Lucunya Negeri Ini yang mengisahkan pendidikan terhadap anak jalanan yang terpaksa berprofesi sebagai pencopet.
              Gerakan mahasiswa segeralah bangkit demi menciptakan kemandirian bangsa Indonesia. Siapa lagi yang sudi memperakarsai perubahan kalau bukan gerakan mahasiswa yang masih bersih dari kepentingan. Maka Bangkitlah.

Bahaya Radikalisme Agama

Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal itu dikarenakan dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan islam sendiri. Dalam kehidupan berbangsa kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi agama. Bagi islam sendiri itu berarti penyempitan pemahaman akan islam. Pemahaman berbeda terhadap ideologi tertentu akan dianggap menyimpang dari islam dan harus dibungkam.

            Hadirnya semangat menjadikan islam sebagai agama sekaligus negara kembali merisaukan belakangan ini. Gerakan yang lebih dikenal dengan gerakan radikalisme agama  mulai menemukan caranya dalam menyebarkan ajarannya. Gerakan ini dikatakan radikal karena lebih mengedepankan pemahaman literal terhadap teks dan cenderung mudah menggunakan kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka. Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam menyampaikan ajarannya hanya melalui jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan bom bunuh dirinya, dan terbukti gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu jalan evolusioner.
            Itu dapat terlihat dengan munculnya partai politik yang ikut mengusung cita-cita berdirinya negara islam. Jalan evolusioner merupakan jalan halus yang akan memberdaya siapa saja yang tidak terbiasa kritis terutama menyangkut soal penggunaan bahasa semisal dengan mengusung jargon partai dakwah, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar maka umat muslim akan mudah bersimpati pada mereka. Kelak dari suara demi suara tersebut partai politik itu akan mengunakan posisinya di parlemen untuk menggapai tujuannya. Keberhasilan partai politik tersebut dalam mengusung agenda formalisasi agama akan ikut serta membentuk masa depan Indonesia.
            Demi mencegah formalisasi agama yang hanya akan membatasi keluasan islam dalam bungkus satu ideologi saja maka organisasi massa (ormas) yang telah ada sebelumnya di Indonesia ikut mengambil sikap cepat. Itu terlihat dengan terbitnya surat keputusan pimpinan pusat (SKPP) Nomor 149/Kep./I.0/B/2006 oleh pimpinan pusat (PP) Muhammadiyah tentang penyelamatan organisasi dan perlunya pembebasan organisasi dari pengaruh partai politik seperti PKS. Seperti tidak mau kalah cepat Nahdlatul Ulama (NU) juga mengeluarkan fatwa bahwa pendirian negara islam tidak mempunyai rujukan teologis baik dalam al-Qur’an maupun Hadits.
            Dipandang dari segi kuantitas sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari masa depan islam di Indonesia. Survey tahun 2000 mencatat jumlah penduduk muslim di Indonesia hampir mencapai 89 persen. Persoalannya adalah ketika masyarakat umum yang pendidikan agamanya relatif rendah dihadapkan dengan bahasa sederhana dan simbol agama yang diklaim lebih islami. Sebut saja kata jihad yang banyak disalah artikan oleh kelompok garis keras, kata jihad dimaknai begitu saja dengan perang. Padahal jihad bila diartikan dalam bahasa Indonesia bukanlah berarti perang namun mempunyai arti bersungguh-sungguh. Jihad fi sabilillah pada masa awal islam yang berarti berperang seharusnya dimaknai bersungguh-sungguh dalam berperang seperti bersungguh-sungguh dalam belajar, jadi penekanan katanya bukan dalam kata berperang atau belajarnya tapi berada dalam kata bersungguh-sungguhnya.
Mencegah Masuk Kampus
            Tidak berhenti disitu saja golongan radikalisme agama juga berupaya menyebarkan ideologi mereka ke setiap sektor dan kampus adalah salah satu tempat yang terpilih untuk menyemaikan ideologi mereka. Kampus dipilih karena disitu terdapat banyak mahasiswa yang dilihat dari segi mentalitas tergolong masih labil dan mudah terpengaruh. Kaum muda dianggap berpotensi dalam meneruskan gerakan negara islam karena selain berpendidikan pemahaman mereka terhadap islam juga relatif dangkal. Dengan beberapa dalih simbol agama seperti janggut, kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, maka tidak sedikit  mahasiswa terutama dari universitas umum yang telah terjerumus dalam ideologi tersebut.
            Terbaru adalah kasus Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat menggemparkan negeri ini dengan meghilangnnya beberapa mahasiswa dari berbagai universitas. Banyak mahasiswa yang terekrut dalam jaringan NII dan ikut menjadi agen penyebar paham radikalisme agama. Untuk itu gerakan radikalisme agama tidak boleh begitu saja dianggap remeh karena seekor singa yang berbahaya duhulu juga pernah kecil. Penulis juga pernah berdiskusi dengan Hadi, mantan kordinator wilayah (KW) II NII di suatu forum diskusi lesehan, beliau mengatakan bahwa tidak sedikit warga IAIN Walisongo yang dahulu telah berhasil direkrutnya baik itu berupa dosen maupun mahasiswa.
            Cukup mengherankan sebenarnya apa yang dikatakan Hadi karena IAIN sebagai sentral pendidikan Islam di Semarang dapat terasuki golongan radikalisme agama. Bila penyusupan tersebut betul maka seluruh civitas akademika perlu bergerak cepat untuk membendung menyebarnya paham radikalisme agama tersebut. Namun jika peryataan hadi hanya bualan belaka maka ini dapat menjadi bahan refleksi bagi mahasiswa untuk memikirkan saudaranya di lain kampus yang pemahaman agamanya dangkal sehingga tidak menutup kemungkinan akan mudah terbujuk dengan simbol agama yang selalu diteriakkan oleh golongan garis keras.
Dari perspektif ini penulis berpandangan boleh jadi munculnya gagasan mengubah islam kedalam negara karena semangat berlebihan tanpa dibarengi pengetahuan agama yang memadai. Berawal dari situ maka dimunculkan klaim kebenaran tunggal untuk menghindari pemahaman lain yang berseberangan. Pandangan yang berbeda atau bersebrangan harus diberangus dan dianggap sesat. Selanjutnya agama dijadikan dalih terhadap pemahaman literal mereka sehingga tanpa mereka sadari apa yang mereka perjuangkan adalah ideologi mereka dan bukan islam itu sendiri.
Karena itu alasan utama menolak radikalisme agama ialah untuk mengembalikan wajah islam yang penuh rahmat sekaligus menyelamatkan NKRI dari keterpecahbelahan. Mahasiswa perlu hadir disini untuk mewujudkan islam yang lebih moderat dan akomodatif terhadap kekayaan budaya nusantara. Islam yang terbuka dan tidak meneriakkan kekerasan adalah kunci perdamaian di Indonesia sehingga gerakan radikalisme agama yang hanya menekankan sisi luar dari islam tidak akan pernah menemukan relevansinya di negeri ini.