Selasa (19/02) kemarin pukul 16.42 WIB ada sebuah sms masuk di
inbox saya. Waktu itu saya sedang mengantar seorang teman ke rental foto copy. Pesan itu
dikirim oleh salah seorang satpam yang cukup dekat dengan saya. Isinya begini
“Ris, aku mau tanya, kemarin kamu ikut mecahin kaca rektorat tidak?”. “Aku
kemarin gak ikut aksi pak, La pripun?” balasku cepat. Selang beberapa saat
terdengar suara pesan masuk “Ada pembantu rektor yang tanya”.
Ada-ada saja. Itulah respon pertama saya sewaktu menerima sms dari
satpam tadi. Lucu bercampur tanda tanya memenuhi isi kepala. Karena sehari sebelumnya,
dua wartawan dari SCTV dan MNC, keduanya sudah kenal saya sebelumnya, menanyakan
tentang ‘aksi turunkan rektor’ (istilah yang mereka pakai sewaktu menghubungi
saya). setelah bertanya kepada beberapa teman. Kubalas dengan pesan “Ini hubungi
korlapnya saja mas” sambil mengirim nomor korlap aksi tersebut.
Ini bukanlah pengalaman kali pertama. OPAK 2012 adalah contohnya. Dalam
Opak yang pembukaan Orseniknya sempat gagal ini saya diberi mandat sebagai
Kordinator Orsenik. Posisi yang tidak kalah beratnya dengan ketua Opak karena
harus membawahi sembilan belas cabang lomba.
Persoalan dalam Orsenik kali ini adalah waktu latihan di fakultas yang
memakan waktu terlalu lama dan tersendatnya keuangan. Ditengah persoalan ini,
dengan kakunya pihak rektorat memutuskan bahwa Orsenik hanya bisa dilaksanakan
di hari libur, yaitu hari Sabtu dan Ahad. Padahal sebelumnya telah disepakati
di rapat Opak bahwa pelaksanaan Orsenik adalah tanggal 17 dan 18 September, yaitu
bertepatan dengan hari Senin dan Selasa.
Ditengah tidak adanya titik temu. Siswoyo, ketua Opak, mengambil
inisiatif dengan melobi rektor berulangkali. Namun hasilnya tetap nihil.
Sebagai upaya terakhir karena desakan atlit yang mulai kelelahan dan tiap Bem
fakultas mengalami defisit. Siswoyo ditemani Anam dan Malik mendatangi rektor
dan ‘berjanji’ bahwa Orsenik bakal dilaksanakan di hari libur. Pagi harinya
melalui tanda tangan PR III dan ketua Opak akhirnya uang kegiatan Orsenik bisa
dicairkan. Namun kemudian hari ‘Janji’ itu dianggap ‘bohong’ oleh pihak
rektorat karena pembukaan Orsenik saja yang dilaksanakan di hari libur, Ahad. Sedangkan
Orsenik rencananya tetap dilaksanakan di hari Senin dan Selasa.
Akibatnya, Ahad malam sejumlah satpam menelpon saya menyuruh segera
ke pos satpam. “Maaf mas ini keputusan atasan. Kami hanya ikut perintah” dalih
satpam. Karena paginya satpam berencana mengunci audit, Gor, dan tempat lainnya
yang digunakan Orsenik. “Tapi pak ini bakal menyulut emosi mahasiswa yang telah
berlatih hampir sebulan lebih” usahaku meyakinkan satpam. “Sekali lagi maaf mas,
pahami posisi kami. Kami hanya bawahan yang menjalankan perintah”. Terpancar
wajah ketakberdayaan di raut muka satpam tadi.
Mendengar kabar ini. Saya langsung mengadakan rapat darurat dengan
mengumpulkan Presiden Dema, Ketua Opak, Beberapa ketua UKM dan beberapa kordinator
cabang lomba Orsenik. Sampai jam menunjukkan pukul 02.20 belum ada tanda-tanda
ditemukan solusi. Karena banyaknya cabang lomba yang bakal dihelat di Orsenik.
Mencari alternatif tempat lain adalah hal yang sangat sulit. Ditengah pikiran
yang mulai linglung, segera kutekan nomor Rektor dan PR III. Sampai jam
menunjukkan pukul 3 pagi belum ada tanda-tanda jawaban telfon dari seberang
sana.
Paginya, Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Pagi yang berisi detik-detik
penentuan. Dengan mata berat menahan kantuk. Dan bermodalkan cuci muka saja ku
beranikan menghadap PR III seorang diri. Selang menunggu beberapa saat, PR III
tiba dan mempersilahkan duduk. Sekali lagi kucoba meyakinkan PR III bahwa
Orsenik tidak lagi bisa dibatalkan. Beliau bergeming dan mengajak menemui
rektor di kantornya. Belum sempat bertemu rektor kami dihadang oleh PR I dan PR
IV di ruang tunggu.
Penjelasan sekali lagi saya lakukan dihadapan para pembantu rektor.
Mereka tetap bergeming sesuai instruksi rektor. Disisi lain, berulangkali pesan
masuk ke inbox saya dan mengatakan “Mas, Atlit dan massa rewo-rewo sudah pada
datang”, “Sya dimana? Massa tidak lagi bisa dikendalikan”, “Kamu dimana? Satpam
tidak lagi bisa mengawal”. Ditengah keadaan yang mendesak dan mulai genting ini.
Saya tinggalkan para pembantu rektor dan mengatakan “maaf pak, ini saja yang
dapat saya usahakan. Terima kasih”.
Beberapa saat kemudian saya segera sampai di kampus III. Waktu
menujukkan pukul 09.25 WIB. Saya lihat beberapa mahasiswa mulai tidak sabar.
Dengan jumlah mahasiswa yang cukup besar, berteriak, dan berkumpul di kampus
III. Rasanya akan sulit mengendalikan mahasiswa. Kejadian yang tidak diharapkan
terjadi juga. Pintu audit dan Gor terpaksa dibobol paksa oleh massa. Akhirnya,
Orsenik dapat terselenggara pada hari itu.
Setelah Orsenik berjalan, ditengah sela-sela mengurusi kepanitiaan
saya menghampiri beberapa satpam. Saya ucapkan permintaan maaf dan memohon
pengertiannya. “Iya mas, kami memahami. Kalian dalam posisi sulit. Makanya kami
tidak melawan mahasiswa. Nanti kami yang remuk”, ujar satpam tadi sambil
diselingi candaan. “Jangan lupa gembok yang rusak diganti”. “Siap pak”. Jawabku
tersenyum sambil pergi meninggalkan satpam.
Setelah Orsenik berlangsung dua hari. Perasaan lega menyelimuti.
Beban tanggung jawab terasa plong dan rasanya ingin kembali beraktifitas
secara normal. Meski ada beberapa hal yang belum terselesaikan hasil sisa dari
Orsenik. Tetapi itu bukan hal yang cukup membingungkan. Sampai tiba waktu
seorang teman datang “Ris, aku baru selesai sowan dari salah satu pembantu
rektor. Beliau bilang kamu adalah dalang dibalik pendobrakan pintu audit dan
Gor. Bakal ada sanksi”. Setelah usai mendengarnya. Kutinggal ia sendirian.
Sambil menyusuri jalan ku kuputar lagu Going to Pasalacqua dari Green
Day. “Ada-ada saja” batinku..
Well, I toss and turn
all night/Thinking of your ways of effection/ But to find that it’s not
different at all/I throw away my past mistakes/And contemplate my future/ Tha’s
when I say../What they hey!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar