Benar saja,
pertemuan yang tidak kuharapkan akhirnya tiba juga. Abdul Jalil, teman berdebat
di sejumlah diskusi, langsung bertanya ‘Ris, kira-kira calon ketua rayon tahun
ini yang layak siapa?’. Sambil memesan es teh dan mengambil sebatang rokok di
kantin kampus kujawab sekenanya ‘M. Husni Mushonnifin’, agar dia jengkel dan
pergi. karena aku tahu dia tidak menginginkan jawaban itu, dan aku bisa kembali
menikmati makan siangku dengan tenang.
‘Kita sepaham, ris!’, jawabnya cepat ‘kita membutuhkan sosok pemimpin
yang berani tidak populer dikalangan publik’ sindirnya mengingatkanku pada
pemerintahan Indonesia yang gemar melakukan politik pencitraan. Kuhisap dalam-dalam
sebatang rokok yang daritadi kuabaikan dan ujung abunya mulai memanjang, ‘Apa
kamu yakin?’ tanyaku sambil memerhatikan dia yang mulai sibuk mencari-cari
selembar kertas dalam tasnya, ‘Nah, ini dia ketemu’.
‘Aku sudah melakukan sejumlah
analisa’ jelasnya, ‘Aku sudah membuat daftar nama-nama yang layak terpilih
tahun ini’ lanjutnya dengan gaya pengamat politik senior yang sering tampil di
sejumlah televisi nasional. ‘Aku sudah mencoret nama-nama yang berasal dari
daerah yang sama dari ketua rayon terpilih sebelumnya, Batang, Pati, Demak, dan
Blora, karena ini terkesan membuat sebuah dinasti’.
‘Itu namanya diskriminasi, Lil’ jawabku
hati-hati, salah-salah nasi yang sedang ku kunyah tersedak ditenggorokan.
‘masa’ kalo mau nyalon ketua rayon harus pindah kewarga daerahaan dulu, itu
namanya tidak cerdas’. Ini mengingatkanku pada sejumlah perdebatan tentang pernah
terpilihnya empat ketua rayon asal daerah Pati selama empat periode
berturut-turut.
‘Ketua rayon ideal itu harus bisa memenuhi
7S!’, jawabku tak sabar karena hari ini makan siangku harus terganggu. ‘Dia
harus bisa secerdas mas Suroso, seluas jaringannya mas Hadziq, sebijak mas
Sigit, seakomodatif mas Rofiq, sevisioner mas Aidris, seambisius Rouf dan sekomunikatif
Busro’, nyinyirku didepannya. Dia terdiam membolak-balik kertas dengan memegang
sebuah pena. ‘Jadi harus seperti itu ya?’ tanyanya, ‘Iya!’ jawabku singkat
tanpa menoleh.
Setelah melahap sepiring penuh dan perut
terasa keyang betul, aku lingak-linguk mencari Jalil yang tadi berada
disampingku, dia telah pergi. Kudapati selembar kertas yang awalnya dia gunakan
memuat nama-nama calon ketua rayon pilihannya. Ku bolak-balik kertas itu dan
berisi: kosong.
*M. Risya Islami, Pegiat diskusi
Laku Bijak Bajik (Labiba) dan Srikandi