‘Berpikir saja tidak cukup, perlu ada tindakan’ suara
itu menyadarkanku dari lamunan. Ku menoleh pada sesosok wajah yang tak asing.
Seraut wajah yang dulu sering menemaniku berdiskusi sampai fajar menyongsong. Abdul
Zaky namanya, pemuda asal Lamongan yang kutemui di Kediri. ‘Ini tak sesederhana
yang kau kira kawan’ jawabku protes. ‘Segalanya adalah sederhana, hanya saja
kau sedang melihatnya sebagai kerumitan’ paparnya meyakinkanku.
Sebatang rokok segera kusambar. Kepulan asapnya ku sembur
mengangkasa. Semakin tinggi asap itu mengangkasa semakin kabur aku melihatnya.
Begitulah cita-citaku, semakin tinggi aku menggantungnya di langit semakin
mustahil rasanya aku meraihnya. ‘Rasa-rasanya aku sudah muak bermimpi’ keluhku
didepannya. ‘Impian hanya bagi para pecundang, bagi manusia-manusia yang takut
menghadapi kenyataan’.
Impianku itu mungkin sama dengan mimpi-mimpi pemuda lain yang
ada di negeri ini. Impian tentang bakal datangnya negeri yang makmur bermahkotakan
keadilan. Tetapi impian itu runtuh seketika. Ketika aku tak lagi tahu kepada
siapa aku harus menaruh harapan. Generasi tua yang kini sedang memimpin telah
menghianati bangsanya sendiri. Sedangkan generasi muda kulihat menghiasi
seluruh media dengan aksi tawuran dan kebrutalan.
‘Jangan pernah
berhenti berharap, Ris’ Sela Abdul Zaky, seolah ia tahu isi kepalaku. ‘Kenapa
aku harus terus berharap dan mempertahankan cita-cita ini?!’ nyinyirku tak
terima. ‘Bukankah kegelisahanku ini karena aku terus-terusan berharap!?’ ‘Coba
bayangkan bila aku tak punya harapan. Hidupku akan lebih mudah dan mengalir
bukan!?’. ‘Iya! tetapi bagaimanapun harapan adalah penggerak kehidupan. Manusia
tanpa harapan adalah jiwa yang kosong. Teruslah berharap dan perbarui jiwamu!’.
Tegas Abdul Zaky.
Ku terdiam lalu merenungi
perkataanya tadi. Diam-diam ku amati dalam-dalam sosok sederhana berbalut peci
putih dan baju muslim itu. Hebatnya, tubuhnya yang kurus tidak menghentikan
semangatnya mandakwahkan Agama. Pertama kali aku mengenalnya saat bersama-sama
belajar bahasa di Kediri. Waktu itu aku betul-betul mengaguminya. Ditengah
keterbatasan ekonomi ia nekad merantau. Tak ayal, seringkali aku melihatnya tak
menyantap nasi sedikitpun beberapa hari.
‘Hidup itu Jihad, Berjuang
tanpa lelah adalah kunci kejayaan’ pesannya padaku. Namun seiring berjalannya
waktu. Ketidaksepakatan-ketidaksepakatan mewarnai persahabatan kami. Alasannya,
kami mempunyai sudut pandang berbeda soal pemaknaan jihad. ‘Indonesia saat ini
adalah negara Thogut. Maka Jihad wajib hukumnya!’ serunya waktu itu. Aku tak
terima ‘Indonesia bukan negara Islam, semua pemeluk agama berhak hidup disini,
tanpa gangguan apapun!’. Itulah puncak perselisihan kami. Semenjak itu hubungan
kami retak dan tak pernah lagi bertemu sampai tiba malam itu.
Sayup-sayup suara
itu menggema lalu perlahan-perlahan menghilang. ‘Berpikir saja tidak cukup,
perlu ada tindakan kawan’ suara gema itu. Dan Abdul Zaky ikut menghilang
tertelan gumpalan kabut. Putih, seputih silau mataku yang baru saja terbuka. Waktu
menunjukkan pukul 3 pagi. ‘Ah, ternyata aku telah tertidur’.
####
Esoknya, Harapan
luar biasa berdegup kencang didadaku. Aku tak pernah tahu asal tenagaku ini
bersumber. Sejenak ku singkirkan Megaphone yang biasa menemaniku. ‘Harus ada perubahan
yang lebih nyata sekedar dari kata-kata!’, batinku. ‘Mungkin inilah kekuatan mimpi
revolusi’.
Anehnya,
Bayang-bayang tokoh revolusioner kontemporer kini berterbangan dibenakku. Terutama Bouazizi, tokoh
penggerak revolusi Timur Tengah, seolah terus menyapaku. Diujung bayang-bayang
aku juga melihat sesosok yang begitu anggun namanya, Sondang Hutagulung. ‘Yakinlah!’,
Sapa hangat suara bayang-bayang itu.
“Yah! Aku harus berbuat sesuatu!”. Yakinku dengan
gemuruh bergelora.
####
Diujung senja anak-anak
masih bermain kelereng. Seolah waktu tak lagi membatasi tiap aktivitas anak
manusia. Orang tua - orang tua mereka tertegun mendengar berita di Hari
pahlawan kali ini. Presentar cantik dengan fasih membaca sebuah berita
menggemparkan.
“Serangan terorisme kembali mengguncang Indonesia
di Hari Pahlawan. Jika sebelumnya, Serangan terorisme tertuju pada
tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat hiburan. Hari ini, Bom meledak di di
gedung DPR dan istana negara. Serangan ini mengakibatkan tewasnya pimpinan
negara dan seluruh anggota legislatif. Densusu 88 menyatakan serangan bom ini
dilakukan oleh kelompok jaringan teroris baru yang belum diketahui sebelumnya.
Seorang martir diketemukan hancur berkeping-keping di gedung DPR yang telah
rata dengan tanah. Diduga, sebelumnya martir ini juga yang meledakkan bom di
istana negara. Dengan kosongnya pemerintahan Indonesia saat ini. Berbagai
spekulasi dan harapan mengemuka. Sementara waktu Rakyat akan memegang penuh
nasibnya sendiri dan merumuskan kembali masa depannya.”