Senin, 05 November 2012

Atas Nama Revolusi


‘Berpikir saja tidak cukup, perlu ada tindakan’ suara itu menyadarkanku dari lamunan. Ku menoleh pada sesosok wajah yang tak asing. Seraut wajah yang dulu sering menemaniku berdiskusi sampai fajar menyongsong. Abdul Zaky namanya, pemuda asal Lamongan yang kutemui di Kediri. ‘Ini tak sesederhana yang kau kira kawan’ jawabku protes. ‘Segalanya adalah sederhana, hanya saja kau sedang melihatnya sebagai kerumitan’ paparnya meyakinkanku.

Sebatang rokok segera kusambar. Kepulan asapnya ku sembur mengangkasa. Semakin tinggi asap itu mengangkasa semakin kabur aku melihatnya. Begitulah cita-citaku, semakin tinggi aku menggantungnya di langit semakin mustahil rasanya aku meraihnya. ‘Rasa-rasanya aku sudah muak bermimpi’ keluhku didepannya. ‘Impian hanya bagi para pecundang, bagi manusia-manusia yang takut menghadapi kenyataan’.

            Impianku itu mungkin sama dengan mimpi-mimpi pemuda lain yang ada di negeri ini. Impian tentang bakal datangnya negeri yang makmur bermahkotakan keadilan. Tetapi impian itu runtuh seketika. Ketika aku tak lagi tahu kepada siapa aku harus menaruh harapan. Generasi tua yang kini sedang memimpin telah menghianati bangsanya sendiri. Sedangkan generasi muda kulihat menghiasi seluruh media dengan aksi tawuran dan kebrutalan.

            ‘Jangan pernah berhenti berharap, Ris’ Sela Abdul Zaky, seolah ia tahu isi kepalaku. ‘Kenapa aku harus terus berharap dan mempertahankan cita-cita ini?!’ nyinyirku tak terima. ‘Bukankah kegelisahanku ini karena aku terus-terusan berharap!?’ ‘Coba bayangkan bila aku tak punya harapan. Hidupku akan lebih mudah dan mengalir bukan!?’. ‘Iya! tetapi bagaimanapun harapan adalah penggerak kehidupan. Manusia tanpa harapan adalah jiwa yang kosong. Teruslah berharap dan perbarui jiwamu!’. Tegas Abdul Zaky.

            Ku terdiam lalu merenungi perkataanya tadi. Diam-diam ku amati dalam-dalam sosok sederhana berbalut peci putih dan baju muslim itu. Hebatnya, tubuhnya yang kurus tidak menghentikan semangatnya mandakwahkan Agama. Pertama kali aku mengenalnya saat bersama-sama belajar bahasa di Kediri. Waktu itu aku betul-betul mengaguminya. Ditengah keterbatasan ekonomi ia nekad merantau. Tak ayal, seringkali aku melihatnya tak menyantap nasi sedikitpun beberapa hari. 

            ‘Hidup itu Jihad, Berjuang tanpa lelah adalah kunci kejayaan’ pesannya padaku. Namun seiring berjalannya waktu. Ketidaksepakatan-ketidaksepakatan mewarnai persahabatan kami. Alasannya, kami mempunyai sudut pandang berbeda soal pemaknaan jihad. ‘Indonesia saat ini adalah negara Thogut. Maka Jihad wajib hukumnya!’ serunya waktu itu. Aku tak terima ‘Indonesia bukan negara Islam, semua pemeluk agama berhak hidup disini, tanpa gangguan apapun!’. Itulah puncak perselisihan kami. Semenjak itu hubungan kami retak dan tak pernah lagi bertemu sampai tiba malam itu.

            Sayup-sayup suara itu menggema lalu perlahan-perlahan menghilang. ‘Berpikir saja tidak cukup, perlu ada tindakan kawan’ suara gema itu. Dan Abdul Zaky ikut menghilang tertelan gumpalan kabut. Putih, seputih silau mataku yang baru saja terbuka. Waktu menunjukkan pukul 3 pagi. ‘Ah, ternyata aku telah tertidur’. 

####
            
            Esoknya, Harapan luar biasa berdegup kencang didadaku. Aku tak pernah tahu asal tenagaku ini bersumber. Sejenak ku singkirkan Megaphone yang biasa menemaniku. ‘Harus ada perubahan yang lebih nyata sekedar dari kata-kata!’, batinku. ‘Mungkin inilah kekuatan mimpi revolusi’.

              Anehnya, Bayang-bayang tokoh revolusioner kontemporer kini berterbangan dibenakku. Terutama Bouazizi, tokoh penggerak revolusi Timur Tengah, seolah terus menyapaku. Diujung bayang-bayang aku juga melihat sesosok yang begitu anggun namanya, Sondang Hutagulung. ‘Yakinlah!’, Sapa hangat suara bayang-bayang itu. 

“Yah! Aku harus berbuat sesuatu!”. Yakinku dengan gemuruh bergelora.

####
            
             Diujung senja anak-anak masih bermain kelereng. Seolah waktu tak lagi membatasi tiap aktivitas anak manusia. Orang tua - orang tua mereka tertegun mendengar berita di Hari pahlawan kali ini. Presentar cantik dengan fasih membaca sebuah berita menggemparkan.

“Serangan terorisme kembali mengguncang Indonesia di Hari Pahlawan. Jika sebelumnya, Serangan terorisme tertuju pada tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat hiburan. Hari ini, Bom meledak di di gedung DPR dan istana negara. Serangan ini mengakibatkan tewasnya pimpinan negara dan seluruh anggota legislatif. Densusu 88 menyatakan serangan bom ini dilakukan oleh kelompok jaringan teroris baru yang belum diketahui sebelumnya. Seorang martir diketemukan hancur berkeping-keping di gedung DPR yang telah rata dengan tanah. Diduga, sebelumnya martir ini juga yang meledakkan bom di istana negara. Dengan kosongnya pemerintahan Indonesia saat ini. Berbagai spekulasi dan harapan mengemuka. Sementara waktu Rakyat akan memegang penuh nasibnya sendiri dan merumuskan kembali masa depannya.”  






Melalui Program Konservasi Kampus


Merokok telah menjadi kebiasan bagi sebagian besar masyarakat tidak terkecuali bagi kalangan civitas akademika. Ini tidak terlepas dari jumlah iklan dan produksi rokok yang besar-besaran terjadi. Bahaya akibat menghisap rokok yang tertera di tiap bungkus rokok tidak cukup berhasil mengurangi jumlah perokok. Karena peringatan tersebut terkesan asal cantum dan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya rokok.
            Apalagi bila persoalan rokok kita tarik keluar wilayah kesehatan seperti persoalan sosial-ekonomi. Perdebatan panjang akan mengalir deras. Rokok sejauh ini masih sebagai salah satu penyedia lapangan kerja dan penyumbang pajak terbesar di negeri ini. Tentu ini  bisa jadi alasan sulitnya menghentikan kebiasaan merokok termasuk dalam kampus. Kini, mulai dari kantin, taman, dan ruang kuliah seringkali kita melihat betapa bebas asap rokok berterbangan tanpa memerdulikan orang disekitanya.
            Hemat penulis, kebijakan kampus bebas asap rokok jika berupa pelarangan tidaklah efektif. Karena merokok tidak lagi sekedar baik atau buruk bagi kesehatan tetapi ini menyangkut kebiasaan dan tidak mudah dihilangkan. Program pendukung perlu diciptakan disini. Program yang dapat menghilangkan kebiasaan merokok secara perlahan tanpa menimbulkan resistensi. Program yang tidak sekedar menyelamatkan civitas akademika dari asap rokok tetapi program yang juga mempunyai peranan terhadap lingkungan.
            Program konservasi kampus adalah program yang tepat sebagai program pendukung kebijakan kampus bebas asap rokok. Program Konversi berarti program penghijauan kampus. Dari program penghijauan ini maka dapat dibangun persepsi di kalangan civitas akademika bahwa mereka sedang berada di area yang mengedepankan keasrian lingkungan. Dan secara bertahap dalam kampus dapat dibangun taman hijau, kantin peduli kesehatan, perpustakaan alam, dan area tanpa kendaraan bermotor dengan sepeda sebagai alternatif.

            Bila program ini dapat terwujud dalam sebuah perguruan tinggi dan konsisten dijalankan. Iklim kondusif dengan sendirinya akan mempersempit zona nyaman bagi perokok. Perokok tidak lagi leluasa menyalakan rokok disembarang tempat. Merokok berarti melanggar kesepakatan sosial bahwa civitas akademika sedang ingin menjaga keasrian lingkungan. Ketidaknyamanan disini akan mengurangi minat merokok dan jumlah perokok di kampus. Akhirnya, Kesadaran akan bahaya rokok perlahan menjadi bagian dari keseharian seluruh civitas akademika. Dengan tanpa larangan merokok sekalipun kampus akan menjadi area bebas asap rokok.