Rabu, 15 Mei 2013

Paradoks Pendidikan Kita


Konon, pendidikan adalah cara tercepat mengantarkan rakyat sejahtera. Coba kita tengok sejarah ketika dua kota di Jepang dibombardir dengan bom atom oleh Amerika. Kerusakan waktu itu merata dan meruntuhkan bangunan peradaban Jepang. Kerusakan yang awalnya diperkirakan baru pulih dalam 50 tahun. Dapat pulih hanya dalam jangka 10 tahun. Alasannya pemerintah Jepang membuat terobosan dengan mewajibkan warganya membaca. Juga mendatangkan guru terbaik dari penjuru negeri.

Pendidikan selalu menjadi alternatif yang paling ampuh ditengah krisis. Karena pendidikan mengajak masyarakat berpikir. Sedangkan dengan berpikir manusia menyadari realitas sekelilingnya. Berawal dari menyadari inilah manusia belajar merekayasa. Dari merekayasa masyarakat membangun kembali peradabannya. Kesejahteraan datang bersamaan dengan tegaknya peradaban.

Sejarah ini memang pernah terjadi di Jepang. Di negara yang para serdadunya hampir saja menaklukkan setengah wilayah dunia. Namun tunggu dulu ketika mencoba mengaitkan dengan pendidikan di Indonesia. Ada banyak hal yang perlu kita telaah pelan-pelan. Ada banyak paradoks yang memerlukan kejernihan pikiran dalam memahaminya.

Paradoks-paradoks Pendidikan

Adalah Ujuan Nasional (UN) yang menjadi paradoks pertama pendidikan kita. Meski Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan UN tidak mempunyai dasar rujukan. UN tetap menjelma sebagai barometer kelulusan di sekolah. Alih-alih UN mampu memetakan pendidikan di penjuru negeri. UN justru memetakan berbagai pola kecurangan di penjuru negeri.

Siswa mengalami beban psikologis yang luar biasa. Belajar tidak lagi menjadi kegiatan yang menyenangkan. Alhasil manusia Indonesia di didik mengedepankan hasil dibanding proses. Gaya mekanistik adalah gaya paling ideal untuk pendidikan semacam ini. Karenanya, manusia robot Indonesia bakal meramaikan pasar industri-kapitalis.

Apalagi menengok kesiapan pemerintah tiap kali menggelar UN. Begitu miris melihat carut marut yang dipertontonkan di berbagai media. Sejak UN bergulir sampai berlangsung tahun ini. Pemerintah selalu mempermalukan dirinya sendiri dihadapan publik. Adalah alasan kecurangan massal. Keterlambatan distribusi lembar UN. Saling tuding antara pemerintah dengan pengusaha pelaksana. Bahkan anehnya pemerintah harus repot-repot membuat tim ivestigasi UN. Padahal kesalahan jelas terpampang di depan hidung mereka.

Itulah satu diantara beberapa paradoks pendidikan kita. Paradoks lain adalah mahalnya pendidikan di negeri ini. Ditengah indeks perekonomian Indonesia yang konon naik hingga 6 persen. Pendidikan masih menjadi barang mahal untuk dinikmati oleh semua kalangan. Wajib belajar 9 tahun masih menjadi pepesan kosong di pelosok nusantara. Adalah sejumlah kasus korupsi yang menciderai rasa keperihatinan ini. 

Kasus korupsi yang kian menjadi-jadi belakangan ini. Adalah sebab keperihatinan yang patut kita renungkan dalam-dalam. Dikala bagi sebagian masyarakat bahwa pendidikan adalah barang mewah yang mendapatkannya memerlukan susah payah. Disisi lain koruptor berkerah putih adalah manusia produk pendidikan mahal. Pendidikan di negeri ini kembali menjadi sebuah paradoks bagi masyarakatnya sendiri.

Adalah keberuntungan ketika negeri ini masih memiliki anak di zamannya. Manusia-manusia yang tidak terlebur oleh keadaan. Namun menyadari realitasnya dan berusaha mengubahnya. Kita masih memiliki tokoh itu. Semisal Anis Baswedan yang membaktikan hidupnya bagi pendidikan. Ia memperarkasai lahirnya Indonesia Mengajar. Sebuah program untuk menjamah pendidikan di pelosok negeri. 

Diperlukan Kreativitas

Apabila kualitas pendidikan Indonesia kian nyata kemerosotannya. Dan paradoks pendidikan masih terus membayangi langkah pendidikan di hari esok. Generasi sekarang tidak boleh kalah dengan keadaan yang telah terjadi. Perlu ada kreativitas yang mengubah pola pendidikan yang telah terbangun sedemikian rupa. Awalnya, perlu membangun kritik atas pendidikan yang telah berjalan. Lalu mengimbanginya dengan sebuah kreativitas.

Sebetulnya, apa yang telah dilakukan oleh Anis Baswedan dengan Indonesia Mengajar-nya adalah kreativitas yang patut kita cermati bersama. Disamping kritik yang dapat dia lontarkan secara langsung. Dengan berkreativitas, ia bermaksud menampar kepekaan pemerintah tentang ketidakbecusan mengurusi pendidikan di negeri ini. Disisi lain program semacam ini juga sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Masih banyak kreativitas dalam dunia pendidikan yang patut kita tiru. Semisal, sekolah alam Auliya di Kendal yang memadukan antara nuansa belajar yang ramah lingkungan. Dengan kegemaran anak-anak bermain. Karena manusia tidak boleh lepas dari realitas lingkungan sekitarnya. Mengenalkan peserta didik dengan lingkungan sedini mungkin. Adalah upaya yang patut kita apresiasi. 

Sedangkan menurut Munif Chatib, penulis buku Sekolahnya Manusia, keberhasilan pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh institusi mikro bernama Sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan. Apabila sekolah tersebut unggul. Dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia akan terdongkrak menjadi unggul pula. 

Apabila kita mulai menyadari pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan berbangsa. Pendidikan tidak boleh serta-merta tercampakkan oleh kepentingan segelintir penguasa. Pendidikan sayogianya tetap berperan mencetak manusia yang menyadari kemanusiaannya. Keadaan pendidikan semacam ini hanya dapat diperoleh ketika paradoks-paradoks pendidikan dapat disingkirkan. Sekaligus kreativitas pendidikan perlu lebih dikedepankan dibanding formalitas pendidikan.

Kliwonan, Ngaliyan
Pukul 18.16 WIB, 14 Mei 2013
Sebagai materi Refleksi Hardiknas oleh Bemf Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang