Konon, pendidikan adalah cara tercepat
mengantarkan rakyat sejahtera. Coba kita tengok sejarah ketika dua kota di Jepang
dibombardir dengan bom atom oleh Amerika. Kerusakan waktu itu merata dan meruntuhkan
bangunan peradaban Jepang. Kerusakan yang awalnya diperkirakan baru pulih dalam
50 tahun. Dapat pulih hanya dalam jangka 10 tahun. Alasannya pemerintah Jepang
membuat terobosan dengan mewajibkan warganya membaca. Juga mendatangkan guru
terbaik dari penjuru negeri.
Pendidikan selalu menjadi alternatif yang
paling ampuh ditengah krisis. Karena pendidikan mengajak masyarakat berpikir. Sedangkan
dengan berpikir manusia menyadari realitas sekelilingnya. Berawal dari
menyadari inilah manusia belajar merekayasa. Dari merekayasa masyarakat
membangun kembali peradabannya. Kesejahteraan datang bersamaan dengan tegaknya
peradaban.
Sejarah ini memang pernah terjadi di Jepang.
Di negara yang para serdadunya hampir saja menaklukkan setengah wilayah dunia.
Namun tunggu dulu ketika mencoba mengaitkan dengan pendidikan di Indonesia. Ada
banyak hal yang perlu kita telaah pelan-pelan. Ada banyak paradoks yang
memerlukan kejernihan pikiran dalam memahaminya.
Paradoks-paradoks
Pendidikan
Adalah Ujuan Nasional (UN) yang menjadi
paradoks pertama pendidikan kita. Meski Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan UN
tidak mempunyai dasar rujukan. UN tetap menjelma sebagai barometer kelulusan di
sekolah. Alih-alih UN mampu memetakan pendidikan di penjuru negeri. UN justru
memetakan berbagai pola kecurangan di penjuru negeri.
Siswa mengalami beban psikologis yang luar
biasa. Belajar tidak lagi menjadi kegiatan yang menyenangkan. Alhasil manusia
Indonesia di didik mengedepankan hasil dibanding proses. Gaya mekanistik adalah
gaya paling ideal untuk pendidikan semacam ini. Karenanya, manusia robot
Indonesia bakal meramaikan pasar industri-kapitalis.
Apalagi menengok kesiapan pemerintah tiap
kali menggelar UN. Begitu miris melihat carut marut yang dipertontonkan di
berbagai media. Sejak UN bergulir sampai berlangsung tahun ini. Pemerintah
selalu mempermalukan dirinya sendiri dihadapan publik. Adalah alasan kecurangan
massal. Keterlambatan distribusi lembar UN. Saling tuding antara pemerintah
dengan pengusaha pelaksana. Bahkan anehnya pemerintah harus repot-repot membuat
tim ivestigasi UN. Padahal kesalahan jelas terpampang di depan hidung mereka.
Itulah satu diantara beberapa paradoks
pendidikan kita. Paradoks lain adalah mahalnya pendidikan di negeri ini.
Ditengah indeks perekonomian Indonesia yang konon naik hingga 6 persen.
Pendidikan masih menjadi barang mahal untuk dinikmati oleh semua kalangan.
Wajib belajar 9 tahun masih menjadi pepesan kosong di pelosok nusantara. Adalah
sejumlah kasus korupsi yang menciderai rasa keperihatinan ini.
Kasus korupsi yang kian menjadi-jadi
belakangan ini. Adalah sebab keperihatinan yang patut kita renungkan
dalam-dalam. Dikala bagi sebagian masyarakat bahwa pendidikan adalah barang
mewah yang mendapatkannya memerlukan susah payah. Disisi lain koruptor berkerah
putih adalah manusia produk pendidikan mahal. Pendidikan di negeri ini kembali
menjadi sebuah paradoks bagi masyarakatnya sendiri.
Adalah keberuntungan ketika negeri ini masih
memiliki anak di zamannya. Manusia-manusia yang tidak terlebur oleh keadaan.
Namun menyadari realitasnya dan berusaha mengubahnya. Kita masih memiliki tokoh
itu. Semisal Anis Baswedan yang membaktikan hidupnya bagi pendidikan. Ia
memperarkasai lahirnya Indonesia Mengajar.
Sebuah program untuk menjamah pendidikan di pelosok negeri.
Diperlukan
Kreativitas
Apabila kualitas pendidikan Indonesia kian
nyata kemerosotannya. Dan paradoks pendidikan masih terus membayangi langkah
pendidikan di hari esok. Generasi sekarang tidak boleh kalah dengan keadaan
yang telah terjadi. Perlu ada kreativitas yang mengubah pola pendidikan yang
telah terbangun sedemikian rupa. Awalnya, perlu membangun kritik atas
pendidikan yang telah berjalan. Lalu mengimbanginya dengan sebuah kreativitas.
Sebetulnya, apa yang telah dilakukan oleh
Anis Baswedan dengan Indonesia Mengajar-nya
adalah kreativitas yang patut kita cermati bersama. Disamping kritik yang dapat
dia lontarkan secara langsung. Dengan berkreativitas, ia bermaksud menampar
kepekaan pemerintah tentang ketidakbecusan mengurusi pendidikan di negeri ini.
Disisi lain program semacam ini juga sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Masih banyak kreativitas dalam dunia
pendidikan yang patut kita tiru. Semisal, sekolah alam Auliya di Kendal yang memadukan antara nuansa belajar
yang ramah lingkungan. Dengan kegemaran anak-anak bermain. Karena manusia tidak
boleh lepas dari realitas lingkungan sekitarnya. Mengenalkan peserta didik
dengan lingkungan sedini mungkin. Adalah upaya yang patut kita apresiasi.
Sedangkan menurut Munif Chatib, penulis buku
Sekolahnya Manusia, keberhasilan pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh
institusi mikro bernama Sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan
menentukan bangunan kualitas pendidikan. Apabila sekolah tersebut unggul. Dapat
dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia akan terdongkrak
menjadi unggul pula.
Apabila kita mulai menyadari pentingnya peran
pendidikan bagi kehidupan berbangsa. Pendidikan tidak boleh serta-merta
tercampakkan oleh kepentingan segelintir penguasa. Pendidikan sayogianya tetap
berperan mencetak manusia yang menyadari kemanusiaannya. Keadaan pendidikan
semacam ini hanya dapat diperoleh ketika paradoks-paradoks pendidikan dapat
disingkirkan. Sekaligus kreativitas pendidikan perlu lebih dikedepankan
dibanding formalitas pendidikan.
Kliwonan,
Ngaliyan
Pukul 18.16
WIB, 14 Mei 2013
Sebagai
materi Refleksi Hardiknas oleh Bemf Tarbiyah
IAIN
Walisongo Semarang