Adalah senyum yang mampu menaklukkan mata
setiap lelaki. Ia adalah telaga bagi musafir cinta. Tak perlu sebab untuk
menjelaskan pesonanya.
Namanya Sinta. Perempuan berkulit kuning
langsat dari daerah sejuk pegunungan pantai utara. Ia memiliki paras cantik bak
bidadari. Ia adalah primadona desa yang mengundang decak kagum mata lelaki.
Kecantikannya adalah anugrah dari tuhan. Namun
garis kehidupannya adalah misteri tuhan. Ia lahir dari keluarga miskin. Sejak
kecil ia telah ditinggal mati oleh ayahnya. Ibunya membesarkannya seorang diri.
Beruntungnya, Sinta bukan gadis manja. Ia kerap membantu ibunya menjahit
pakaian. Dari penghasilan menjahit, ia dan ibunya menyambung hidup sehari-hari.
Di awal perjalanan hidupnya, Ia kerap
dinaungi keberuntungan. Seorang pemuda berpendidikan jatuh hati padanya. Bak
gayung bersambut. Sinta juga jatuh hati pada pemuda itu. Pemuda ini bukan
seorang yang kaya raya. Namun ia membawa cinta dan kedewasaan. Orang tua Sinta
juga menyambut baik pinangan pemuda ini. Tak lama berselang mereka menuju ke
pelaminan. Hati para lelaki melihat iri keindahan mahligai rumah tangga yang
sedang mereka ikrarkan.
Berbekal pendidikan dan keuletan. Suami Sinta
dengan mudah membangun sebuah usaha. Sejumlah deret toko perhiasan berhasil ia dirikan.
Hidup berangsur berubah. Sinta dan keluarga menjalani kehidupan serba berkecukupan.
Keindahan sebuah keluarga semakin sempurna karena Sinta dianugrahi seorang
putri yang cantik.
Garis kehidupan adalah misteri tuhan. Ditengah
hidup yang begitu indah dan sempurna. Sang suami divonis dokter terserang
penyakit Alzhaimer. Sebuah penyakit yang menyerang saraf memori otak. Penyakit
ini masih tergolong langka di Indonesia. Berbagai upaya ditempuh Sinta agar
suami dapat sembuh.
Sejumlah pengobatan telah dilakukan. Namun
kesembuhan suami belum juga kunjung tiba. Sejumlah kekayaan keluarga mulai
terjual. Sederet toko perhiasan mulai terjual satu-persatu. Namun ini tidak
menyurutkan langkah Sinta sedikitpun. Sinta memutuskan menjual toko perhiasan
terakhir agar suami dapat berobat ke luar negeri.
Namun nasib siapa yang tahu. Sewaktu operasi berjalan,
sang suami menghembuskan nafas terakhir. Kabar kepergian suami ibarat badai di
siang hari. Ia tak kuasa menahan tangis air mata. Tatapan matanya mulai redup
dan berwarna abu-abu. Sinta jatuh pingsan.
Kini, Sinta tidak lagi memiliki apa-apa. Ia
telah kehilangan kasih sayang dan harta benda miliknya. Namun ia tetap
bersyukur memiliki seorang puteri yang cantik. Dan seorang ibu yang masih setia
mendampinginya.
Namun rupanya kepahitan hidup belum mau
menjauhinya. Ibunya mulai merasa nyeri di payudara. Setelah diperiksakan kepada
dokter. Ibu Sinta terkena kanker ganas di payudara. Sinta begitu terpukul
mendengar kabar ini. Ia masih ingat betul bagaimana maut merenggut nyawa
suaminya. Kali ini dia tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya lagi,
ibunya.
Berdasarkan keterangan dari dokter. Kanker
ganas yang menyerang ibunya masih memungkinkan untuk sembuh. Asal ibu Sinta
segera dioperasi. Sedangkan operasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Disisi
lain Sinta telah menghabiskan seluruh hartanya untuk pengobatan suami.
Ditengah situasi sulit. Sinta seolah tidak
memiliki tempat bersandar. Ia tidak tahu harus meminjam uang kepada siapa.
Paijo, teman sewaktu SD yang pernah ia tolak cintanya datang menawarinya sebuah
pinjaman. Paijo bersedia meminjamkan uang dengan satu syarat. Bahwa Sinta harus
menekan kontrak pekerjaan dengan Paijo. Tanpa berpikir panjang Sinta menandatangani
kontrak pekerjaan tersebut tanpa sempat melihat isi kontrak sebelumnya.
Operasi orang tuanya akhirnya berjalan
lancar. Tumor payudara ibunya berhasil diangkat. Paijo kembali menemui Sinta
menagih janji. Paijo meminta Sinta agar segera bekerja dengannya. Sinta pun
menyanggupi permintaan Paijo. Namun Sinta masih kebingungan terkait pekerjaan
apa yang harus dilakukannya.
Betapa kagetnya Sinta sewaktu mendengar dari
paijo bahwa dia harus bekerja sebagai wanita pekerja seksual (WPS). Ternyata
selama ini Paijo sukses dari bisnis yang mengeksploitasi tubuh wanita ini di
kota seberang. Sekuat tenaga Sinta berusaha menolak pekerjaan ini. Namun Paijo
mengancam bakal memidanakan Sinta karena telah menekan kontrak. Kontan Sinta merasa
ketakutan akan ancaman Paijo. Malam itu Sinta terpaksa merelakan tubuhnya di
nikmati Paijo, seorang yang kini paling ia benci di dunia.
Dalam perjalanan waktu, Sinta merasa
menderita melalui pekerjaan ini. Pekerjaan yang tidak pernah ia bayangkan
sedikitpun akan dilaluinya. Didepan ibu dan anaknya ketika ia pergi beberapa
hari dan jarang pulang. Ia beralasan sedang menjalankan bisnis garmen di kota
seberang. Ia merasa sakit harus berbohong kepada buah hati dan ibunya. Namun
bagaimanapun ia membutuhkan sesuap nasi ditengah kondisi ibunya yang semakin melemah
dan puterinya yang kian tumbuh untuk bertahan hidup.
Menjelang tidur ia kerapkali merenungi
gelapnya jalan hidup yang telah ia jalani. Ia tidak berani bertanya kepada
agamawan tentang jalan yang telah ia pilih. Ia khawatir akan menabrak tembok
kekakuan hukum agama. Ia pun tak berani protes terhadap pemerintah. Karena
laporan-laporan pemerintah menyatakan indeks ekonomi negeri ini sedang naik.
Lalu diam adalah pilihan terbaik baginya saat
ini. Santi mulai membiasakan diri menerima ejekan dan makian atas pekerjaan
ini. Toh, ini karena orang-orang itu tidak tahu saja, pikirnya sederhana.
Dan senyum Santi yang kembali mampu menaklukkan
mata setiap lelaki. Ia adalah telaga bagi musafir cinta. Tak perlu sebab untuk
menjelaskan pesonanya.
Kliwonan, Ngaliyan
Pukul 02.00 pagi, 09 Mei 2013
sambil ditemani lagu ‘Bebas Merdeka’ dari
Steven n’ Coconut trees.
Terinspirasi dari sebuah kisah dari WPS di
Resosialisasi Argorejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar