Selasa, 26 Februari 2013

Menyoal Presensi Kuliah


Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh sejumlah dosen di perguruan tinggi. Tingkat kehadiran dalam satu perkuliahan adalah 75 persen. Ini berarti mahasiswa yang tidak menghadiri perkuliahan diatas tiga kali dinyatakan tidak lulus. Ketentuan ini mengacu kepada metode pemusatan belajar pada keaktifan mahasiswa (student active learning center). Dan sudah berjalan di pelbagai perguruan tinggi. Biasanya, dosen menyampaikan peraturan ini diawal masuk kuliah sebagai kontrak belajar. 

Intensitas mahasiswa menghadiri perkuliahan menjadi sangat penting di perguruan tinggi. Awalnya ini adalah sebuah terobosan di dunia pendidikan. Namun dalam perkembangannya tidak lagi dipandang efektif. Pasalnya ujian semester (US) mengikuti peraturan presensi minimal 75 persen. Konsekuensinya kemampuan akademis mahasiswa hanya diukur melalui tingkat kehadiran dalam perkuliahan saja.

Padahal dari segi penilaian, presensi sekedar mencakup 10 persen. Sedangkan US mencapai sekitar 70 persen dari total 100 persen penilaian. Sisanya 20 persen diambil dari keaktifan ketika perkuliahan sedang berlangsung. 

Jika kita cermati, US bertujuan menguji tingkat kepahaman mahasiswa. Ketika ada mahasiswa yang tidak diijinkan mengikuti US karena alasan presensi. Dosen tidak akan lagi mempunyai kesempatan mengetahui kemampuan sebenarnya dari mahasiswa tersebut. Bisa jadi ia telah merampungkan sejumlah bacaan dari materi kuliah. Namun karena alasan tertentu ia tidak dapat menghadiri perkuliahan sesering yang telah ditentukan.

Alasan lain, banyak negara maju yang telah meninggalkan sistem presensi. Kesadaran mengikuti perkuliahan lebih dikedepankan disini. Seperti di RWTH Aachen Jerman dan sejumlah negara maju lainnya. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai obyek pendidikan yang membutuhkan paksaan dari luar. Sebaliknya, mahasiswa dilihat sebagai subjek pendidikan yang telah sadar pendidikan.

Sudah saatnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi tidak perlu lagi dilihat dari segi presensi semata. Kedisiplinan yang dipaksakan sekedar melahirkan generasi mekanik. Generasi yang tercerabut dari lingkungan sosialnya. ‘Asal hadir kuliah’ adalah wabah yang berpotensi menggerus sisi kreatifitas mahasiswa. Apalagi menilik seabrek kegiatan kampus. Aktivis mahasiswa adalah mahasiswa yang paling keberatan atas kebijakan ini.

Beban Aktivis Mahasiswa 

Banyak aktivis mahasiswa mengeluhkan ketentuan presensi ini. Terutama menyangkut kepadatan jadwal kegiatan. Aktivis mahasiswa kesulitan membagi waktu antara kegiatan dan kuliah. Apalagi ketentuan presensi ini mewajibkan tingkat kehadiran mahasiswa minimal 75 persen. Ini mengakibatkan ruang gerak mahasiswa menjadi terbatas.

Berbagai upaya telah diupayakan aktivis mahasiswa. Seperti mengusulkan pengurangan persentasi minimal kehadiran perkuliahan. Namun upaya ini selalu kandas didepan normatifitas ketentuan presensi. Dosen berpendirian bahwa ini upaya menjadikan mahasiswa lebih rajin mengikuti perkuliahan. Sebaliknya, mahasiswa tidak melihat ini sebagai persoalan ‘malas-rajin’. Namun dalam kerangka pentingnya sebuah kesadaran dalam dunia pendidikan. 

Aktivis mahasiswa tidak mengesampingkan pentingnya perkuliahan. Karena tujuan menempuh pendidikan di perguruan tinggi adalah mencari ilmu melalui perkuliahan. Namun kebanyakan aktivis memegang jabatan struktural yang strategis di kampus. Seperti sebagai pengurus BEM Universitas. Apabila tidak ada keringanan dalam presensi perkuliahan. Bisa ditebak bahwa aktivis mahasiswa ini bakal kesulitan meraih kelulusan dalam pelbagai mata kuliah. Konsekuensinya aktivis mahasiswa seringkali memakan waktu lama dalam merampungkan kuliah.

Sudah sepatutnya ini di insyafi oleh segenap dosen dan pemangku kebijakan kampus. Bahwa seringkali aktivis membawa nama harum perguruan tingginya. Ini juga harus dibalas setimpal dengan memberi keringanan presensi. Aktivis mahasiswa bukan tipikal mahasiswa yang tidak menyukai belajar. Mereka seringkali membaca, berdiskusi, menulis lebih banyak dari mahasiswa lainnya. Bedanya mereka mempunyai banyak kegiatan yang berpotensi tidak dapat memenuhi batas minimal kehadiran perkuliahan.

Kamis, 21 Februari 2013

Ada-Ada Saja (Sekedar Catatan)

Selasa (19/02) kemarin pukul 16.42 WIB ada sebuah sms masuk di inbox saya. Waktu itu saya sedang mengantar  seorang teman ke rental foto copy. Pesan itu dikirim oleh salah seorang satpam yang cukup dekat dengan saya. Isinya begini “Ris, aku mau tanya, kemarin kamu ikut mecahin kaca rektorat tidak?”. “Aku kemarin gak ikut aksi pak, La pripun?” balasku cepat. Selang beberapa saat terdengar suara pesan masuk “Ada pembantu rektor yang tanya”.

Ada-ada saja. Itulah respon pertama saya sewaktu menerima sms dari satpam tadi. Lucu bercampur tanda tanya memenuhi isi kepala. Karena sehari sebelumnya, dua wartawan dari SCTV dan MNC, keduanya sudah kenal saya sebelumnya, menanyakan tentang ‘aksi turunkan rektor’ (istilah yang mereka pakai sewaktu menghubungi saya). setelah bertanya kepada beberapa teman. Kubalas dengan pesan “Ini hubungi korlapnya saja mas” sambil mengirim nomor korlap aksi tersebut. 

Ini bukanlah pengalaman kali pertama. OPAK 2012 adalah contohnya. Dalam Opak yang pembukaan Orseniknya sempat gagal ini saya diberi mandat sebagai Kordinator Orsenik. Posisi yang tidak kalah beratnya dengan ketua Opak karena harus membawahi sembilan belas cabang lomba. 

Persoalan dalam Orsenik kali ini adalah waktu latihan di fakultas yang memakan waktu terlalu lama dan tersendatnya keuangan. Ditengah persoalan ini, dengan kakunya pihak rektorat memutuskan bahwa Orsenik hanya bisa dilaksanakan di hari libur, yaitu hari Sabtu dan Ahad. Padahal sebelumnya telah disepakati di rapat Opak bahwa pelaksanaan Orsenik adalah tanggal 17 dan 18 September, yaitu bertepatan dengan hari Senin dan Selasa.

Ditengah tidak adanya titik temu. Siswoyo, ketua Opak, mengambil inisiatif dengan melobi rektor berulangkali. Namun hasilnya tetap nihil. Sebagai upaya terakhir karena desakan atlit yang mulai kelelahan dan tiap Bem fakultas mengalami defisit. Siswoyo ditemani Anam dan Malik mendatangi rektor dan ‘berjanji’ bahwa Orsenik bakal dilaksanakan di hari libur. Pagi harinya melalui tanda tangan PR III dan ketua Opak akhirnya uang kegiatan Orsenik bisa dicairkan. Namun kemudian hari ‘Janji’ itu dianggap ‘bohong’ oleh pihak rektorat karena pembukaan Orsenik saja yang dilaksanakan di hari libur, Ahad. Sedangkan Orsenik rencananya tetap dilaksanakan di hari Senin dan Selasa.

Akibatnya, Ahad malam sejumlah satpam menelpon saya menyuruh segera ke pos satpam. “Maaf mas ini keputusan atasan. Kami hanya ikut perintah” dalih satpam. Karena paginya satpam berencana mengunci audit, Gor, dan tempat lainnya yang digunakan Orsenik. “Tapi pak ini bakal menyulut emosi mahasiswa yang telah berlatih hampir sebulan lebih” usahaku meyakinkan satpam. “Sekali lagi maaf mas, pahami posisi kami. Kami hanya bawahan yang menjalankan perintah”. Terpancar wajah ketakberdayaan di raut muka satpam tadi.

Mendengar kabar ini. Saya langsung mengadakan rapat darurat dengan mengumpulkan Presiden Dema, Ketua Opak, Beberapa ketua UKM dan beberapa kordinator cabang lomba Orsenik. Sampai jam menunjukkan pukul 02.20 belum ada tanda-tanda ditemukan solusi. Karena banyaknya cabang lomba yang bakal dihelat di Orsenik. Mencari alternatif tempat lain adalah hal yang sangat sulit. Ditengah pikiran yang mulai linglung, segera kutekan nomor Rektor dan PR III. Sampai jam menunjukkan pukul 3 pagi belum ada tanda-tanda jawaban telfon dari seberang sana.

Paginya, Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Pagi yang berisi detik-detik penentuan. Dengan mata berat menahan kantuk. Dan bermodalkan cuci muka saja ku beranikan menghadap PR III seorang diri. Selang menunggu beberapa saat, PR III tiba dan mempersilahkan duduk. Sekali lagi kucoba meyakinkan PR III bahwa Orsenik tidak lagi bisa dibatalkan. Beliau bergeming dan mengajak menemui rektor di kantornya. Belum sempat bertemu rektor kami dihadang oleh PR I dan PR IV di ruang tunggu. 

Penjelasan sekali lagi saya lakukan dihadapan para pembantu rektor. Mereka tetap bergeming sesuai instruksi rektor. Disisi lain, berulangkali pesan masuk ke inbox saya dan mengatakan “Mas, Atlit dan massa rewo-rewo sudah pada datang”, “Sya dimana? Massa tidak lagi bisa dikendalikan”, “Kamu dimana? Satpam tidak lagi bisa mengawal”. Ditengah keadaan yang mendesak dan mulai genting ini. Saya tinggalkan para pembantu rektor dan mengatakan “maaf pak, ini saja yang dapat saya usahakan. Terima kasih”.

Beberapa saat kemudian saya segera sampai di kampus III. Waktu menujukkan pukul 09.25 WIB. Saya lihat beberapa mahasiswa mulai tidak sabar. Dengan jumlah mahasiswa yang cukup besar, berteriak, dan berkumpul di kampus III. Rasanya akan sulit mengendalikan mahasiswa. Kejadian yang tidak diharapkan terjadi juga. Pintu audit dan Gor terpaksa dibobol paksa oleh massa. Akhirnya, Orsenik dapat terselenggara pada hari itu.

Setelah Orsenik berjalan, ditengah sela-sela mengurusi kepanitiaan saya menghampiri beberapa satpam. Saya ucapkan permintaan maaf dan memohon pengertiannya. “Iya mas, kami memahami. Kalian dalam posisi sulit. Makanya kami tidak melawan mahasiswa. Nanti kami yang remuk”, ujar satpam tadi sambil diselingi candaan. “Jangan lupa gembok yang rusak diganti”. “Siap pak”. Jawabku tersenyum sambil pergi meninggalkan satpam.

Setelah Orsenik berlangsung dua hari. Perasaan lega menyelimuti. Beban tanggung jawab terasa plong dan rasanya ingin kembali beraktifitas secara normal. Meski ada beberapa hal yang belum terselesaikan hasil sisa dari Orsenik. Tetapi itu bukan hal yang cukup membingungkan. Sampai tiba waktu seorang teman datang “Ris, aku baru selesai sowan dari salah satu pembantu rektor. Beliau bilang kamu adalah dalang dibalik pendobrakan pintu audit dan Gor. Bakal ada sanksi”. Setelah usai mendengarnya. Kutinggal ia sendirian. Sambil menyusuri jalan ku kuputar lagu Going to Pasalacqua dari Green Day. “Ada-ada saja” batinku.. 

Well, I toss and turn all night/Thinking of your ways of effection/ But to find that it’s not different at all/I throw away my past mistakes/And contemplate my future/ Tha’s when I say../What they hey!

 

Rabu, 13 Februari 2013

Seputar 'Lulus Kuliah'

Sebaik-baiknya kuliah itu kuliah yang lulus. Kata-kata itu sederhana dan lugas. Tapi dampaknya dahsyat bagi sebagian orang. Kata ‘Kuliah’ di utak-atik dari sudut manapun, analisa global sampai lokal sekalipun, ujung-ujunganya sampai pada kesimpulan ‘lulus kapan?’. Sebagian orang meng-amin-i ini. Sebagian lagi berusaha menolak. ‘Kuliah (baca; pendidikan) bukan persiapan hidup tetapi kehidupan itu sendiri’ ujar sesosok mahasiswa idealis. ‘Konsekuensinya hidup itu musti lama. Jadi kuliah lama gak apa-apa’.

Akibatnya berangsur-angsur lama atau cepat lulus kuliah kini jadi persoalan keyakinan. Semacam agama. Asal tahu alasannya, saling menghormati keyakinan masing-masing. Jadilah pluralisme kuliah. Pluralisme kuliah ini patut diperjuangkan, selain pluralisme agama tentunya.

Ini bukan tanpa alasan. Mahasiswa beragam latar belakang dan tujuannya. Juga sejumlah godaannya. Ada yang berasal dari pesantren, sewaktu mondok tahunya soal ‘Halal-Haram’. Lalu di kampus berseliweran lawan jenis. Jadi mending ngikutin dawuhnya Sahabat Ali KW dalam kitab Ta’limul Muta’allim, tuli zamanin; mencari ilmu boleh memakan waktu yang lama.

Ada juga yang mengandalkan pengalaman Osis-nya sewaktu di sekolah. Akibatnya di kampus sedikit-sedikit mengatasnamakan agent of social change. Yang kalau mengucapkannya lebih terdengar ‘agen of sosial ceng’. Mahasiswa ini ada bagusnya, cepat tanggap dan cepat bertindak. Susahnya Cuma sulit diatur. Maka jangan pernah coba-coba tanyakan ini: Lulus kapan? Sudah makan belum? Sudah punya pacar belum?. Itu melanggar kode etik yang telah disepakati oleh mahasiswa semacam ini.

Ini yang jadi kebanyakan. Fokus pada studi tanpa tolah-toleh kanan-kiri. Lulus cepat dan berprestasi. untuk satu golongan ini tidak ada komentar. Adanya Cuma do’a. Semoga dapat sepintar BJ Habibi. Buat pesawat terbang Lalu buat film romantis Habibi-Ainun. Aaaamin.

Tanyakan Ini Saja

Rupa-rupa mahasiswa diatas sekedar bagian dari beberapa jenis spesies mahasiswa yang lebih beragam. Menganalisa kehidupan mahasiswa memang tidak dapat melalui pendekatan hitam-putih. Apalagi mudah memberikan cap stempel pada mahasiswa. Kadangkala waktu tidak berbanding lurus dengan ‘prestasi bermasyarakat’. Prestasi akademik mudah saja dilihat dari kasat mata, yaitu kumpulan nilai diatas kertas berstempel. Tetapi bagaimana melihat ‘prestasi bermasyarakat?’

Ini bukan upaya membela. Saya kutip saja ucapan Hegel ‘Kebenaran tidak terletak di awal atau di akhir, tetapi dalam keseluruhan’. Persoalan cepat lulus atau lama itu sebaiknya kita kembalikan saja pada pilihan hidup. Asal tanyakan ini saja ‘sudah menorehkan tinta apa kamu dalam sejarah kampus?’. Sebab pertanyaan ‘Lulus kapan?’ se-purba pertanyaan ‘Sudah makan?’. Sama-sama pertanyaan yang tidak mengandung nilai-nilai ilmiah,hehe:).

Saya mempunyai pengalaman yang cukup unik soal ini. Dulu sewaktu nyantri di Kediri. Ada seorang teman yang santainya luar biasa. Tidak pernah jauh-jauh dari kopi. Setidaknya itu yang kami lihat. Sebagian orang memandang miring teman saya ini. Tetapi sedikit yang tahu bahwa ia ternyata seringkali belajar di tengah malam, sewaktu yang lain sudah terlelap.

Menanggapi teman lain yang memandangnya miring. Ia santai saja menjawabnya ‘kalian boleh saja menghinaku hari ini, tapi tunggu saja 10 tahun lagi, kalian akan melamar kerja di perusahaanku’. Kalau diterjemahkan dalam bahasa kampus kira-kira begini ‘boleh saja kamu mempertanyakan kelulusanku hari ini. Tapi tunggu saja 5 tahun lagi, kamu akan memintaku menjadi keynote speaker acara seminarmu’.

Beri Salam Pada Dosen

Rasa-rasanya membahas seputar ‘lulus kuliah’ jadi kurang sreg tanpa melibatkan satu sosok ini, Dosen. Sosok ini penting peranannya dalam dunia kampus. Disisi lain sosok ini juga tidak lepas dari kritik. Kita masih ingat kritik Soe Hok Gie dalam buku hariannya, Catatan Sang Demonstran, ia mengatakan ‘Guru bukan dewa yang selalu benar, dan siswa bukan kerbau’. Beda lagi kalo Iwan Fals, ia lebih menyoroti kehidupan seorang guru, yang disimbolkan pada sosok Umar Bakri. ‘Banyak menteri, insiyur pun jadi...tapi mengapa gaji Umar Bakri seperti dikebiri, bunyi lirik lagu tersebut.

Lalu apa kaitannya lulus kuliah dengan dosen? Jangan kira ini tidak berkaitan erat. Dosen memegang kartu truf cepat lamanya mahasiswa lulus. Mahasiswa yang ‘macam-macam’ dengan dosen, alamat bakal terhambat kuliahnya. Sebaliknya, mahasiswa yang ‘mesra dan taat’ alamat bakal lancar studinya. Apa betul sedemikian subjektifnya sosok ini? Setidaknya ini bisa diketahui melalui dua peraturan tak tertulis yang telah jamak dikalangan mahasiswa.

Peraturan pertama, dosen selalu benar. Peraturan kedua, hal-hal diluar itu kembali kepada peraturan pertama. Ini sekedar anekdot yang sering beredar dikalangan mahasiswa. Jadi kalau ingin cepat lulus, setidaknya mulai jalin ‘kemesraan’ dengan dosen. Kalau tidak bisa, minimal menjadi mahasiswa yang ‘taat’. Asal jangan coba-coba saja menjadi mahasiswa yang ‘macam-macam’. Itu sekurangnya hikmah yang dapat diambil dari anekdot diatas.

Meski demikian, Dosen tetap saja patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Tanpanya ilmu kurang bermakna. Tanpanya perkuliahan tidak jadi jalan. Asal saja dosen bukan orang yang tidak tahan kritik. Bila tidak tahan kritik ya wassalam. Namun apabila dosen mampu menjadi teladan dan orang tua rohani (baca; pendidikan). Jangan lupa beri salam selalu kepada beliau. Wassalamu’alaikum Wr Wb.