Berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh sejumlah dosen di perguruan tinggi. Tingkat
kehadiran dalam satu perkuliahan adalah 75 persen. Ini berarti mahasiswa yang
tidak menghadiri perkuliahan diatas tiga kali dinyatakan tidak lulus. Ketentuan
ini mengacu kepada metode pemusatan belajar pada keaktifan mahasiswa (student active learning center). Dan
sudah berjalan di pelbagai perguruan tinggi. Biasanya, dosen menyampaikan
peraturan ini diawal masuk kuliah sebagai kontrak belajar.
Intensitas
mahasiswa menghadiri perkuliahan menjadi sangat penting di perguruan tinggi. Awalnya
ini adalah sebuah terobosan di dunia pendidikan. Namun dalam perkembangannya tidak
lagi dipandang efektif. Pasalnya ujian semester (US) mengikuti peraturan
presensi minimal 75 persen. Konsekuensinya kemampuan akademis mahasiswa hanya diukur
melalui tingkat kehadiran dalam perkuliahan saja.
Padahal
dari segi penilaian, presensi sekedar mencakup 10 persen. Sedangkan US mencapai
sekitar 70 persen dari total 100 persen penilaian. Sisanya 20 persen diambil
dari keaktifan ketika perkuliahan sedang berlangsung.
Jika
kita cermati, US bertujuan menguji tingkat kepahaman mahasiswa. Ketika ada
mahasiswa yang tidak diijinkan mengikuti US karena alasan presensi. Dosen tidak
akan lagi mempunyai kesempatan mengetahui kemampuan sebenarnya dari mahasiswa
tersebut. Bisa jadi ia telah merampungkan sejumlah bacaan dari materi kuliah.
Namun karena alasan tertentu ia tidak dapat menghadiri perkuliahan sesering
yang telah ditentukan.
Alasan
lain, banyak negara maju yang telah meninggalkan sistem presensi. Kesadaran
mengikuti perkuliahan lebih dikedepankan disini. Seperti di RWTH Aachen Jerman
dan sejumlah negara maju lainnya. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai obyek
pendidikan yang membutuhkan paksaan dari luar. Sebaliknya, mahasiswa dilihat sebagai
subjek pendidikan yang telah sadar pendidikan.
Sudah
saatnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi tidak perlu lagi dilihat dari
segi presensi semata. Kedisiplinan yang dipaksakan sekedar melahirkan generasi
mekanik. Generasi yang tercerabut dari lingkungan sosialnya. ‘Asal hadir
kuliah’ adalah wabah yang berpotensi menggerus sisi kreatifitas mahasiswa.
Apalagi menilik seabrek kegiatan kampus. Aktivis mahasiswa adalah mahasiswa
yang paling keberatan atas kebijakan ini.
Beban Aktivis Mahasiswa
Banyak
aktivis mahasiswa mengeluhkan ketentuan presensi ini. Terutama menyangkut kepadatan
jadwal kegiatan. Aktivis mahasiswa kesulitan membagi waktu antara kegiatan dan
kuliah. Apalagi ketentuan presensi ini mewajibkan tingkat kehadiran mahasiswa
minimal 75 persen. Ini mengakibatkan ruang gerak mahasiswa menjadi terbatas.
Berbagai
upaya telah diupayakan aktivis mahasiswa. Seperti mengusulkan pengurangan persentasi
minimal kehadiran perkuliahan. Namun upaya ini selalu kandas didepan normatifitas
ketentuan presensi. Dosen berpendirian bahwa ini upaya menjadikan mahasiswa
lebih rajin mengikuti perkuliahan. Sebaliknya, mahasiswa tidak melihat ini
sebagai persoalan ‘malas-rajin’. Namun dalam kerangka pentingnya sebuah kesadaran
dalam dunia pendidikan.
Aktivis
mahasiswa tidak mengesampingkan pentingnya perkuliahan. Karena tujuan menempuh
pendidikan di perguruan tinggi adalah mencari ilmu melalui perkuliahan. Namun
kebanyakan aktivis memegang jabatan struktural yang strategis di kampus.
Seperti sebagai pengurus BEM Universitas. Apabila tidak ada keringanan dalam
presensi perkuliahan. Bisa ditebak bahwa aktivis mahasiswa ini bakal kesulitan
meraih kelulusan dalam pelbagai mata kuliah. Konsekuensinya aktivis mahasiswa seringkali
memakan waktu lama dalam merampungkan kuliah.