Rabu, 13 Februari 2013

Seputar 'Lulus Kuliah'

Sebaik-baiknya kuliah itu kuliah yang lulus. Kata-kata itu sederhana dan lugas. Tapi dampaknya dahsyat bagi sebagian orang. Kata ‘Kuliah’ di utak-atik dari sudut manapun, analisa global sampai lokal sekalipun, ujung-ujunganya sampai pada kesimpulan ‘lulus kapan?’. Sebagian orang meng-amin-i ini. Sebagian lagi berusaha menolak. ‘Kuliah (baca; pendidikan) bukan persiapan hidup tetapi kehidupan itu sendiri’ ujar sesosok mahasiswa idealis. ‘Konsekuensinya hidup itu musti lama. Jadi kuliah lama gak apa-apa’.

Akibatnya berangsur-angsur lama atau cepat lulus kuliah kini jadi persoalan keyakinan. Semacam agama. Asal tahu alasannya, saling menghormati keyakinan masing-masing. Jadilah pluralisme kuliah. Pluralisme kuliah ini patut diperjuangkan, selain pluralisme agama tentunya.

Ini bukan tanpa alasan. Mahasiswa beragam latar belakang dan tujuannya. Juga sejumlah godaannya. Ada yang berasal dari pesantren, sewaktu mondok tahunya soal ‘Halal-Haram’. Lalu di kampus berseliweran lawan jenis. Jadi mending ngikutin dawuhnya Sahabat Ali KW dalam kitab Ta’limul Muta’allim, tuli zamanin; mencari ilmu boleh memakan waktu yang lama.

Ada juga yang mengandalkan pengalaman Osis-nya sewaktu di sekolah. Akibatnya di kampus sedikit-sedikit mengatasnamakan agent of social change. Yang kalau mengucapkannya lebih terdengar ‘agen of sosial ceng’. Mahasiswa ini ada bagusnya, cepat tanggap dan cepat bertindak. Susahnya Cuma sulit diatur. Maka jangan pernah coba-coba tanyakan ini: Lulus kapan? Sudah makan belum? Sudah punya pacar belum?. Itu melanggar kode etik yang telah disepakati oleh mahasiswa semacam ini.

Ini yang jadi kebanyakan. Fokus pada studi tanpa tolah-toleh kanan-kiri. Lulus cepat dan berprestasi. untuk satu golongan ini tidak ada komentar. Adanya Cuma do’a. Semoga dapat sepintar BJ Habibi. Buat pesawat terbang Lalu buat film romantis Habibi-Ainun. Aaaamin.

Tanyakan Ini Saja

Rupa-rupa mahasiswa diatas sekedar bagian dari beberapa jenis spesies mahasiswa yang lebih beragam. Menganalisa kehidupan mahasiswa memang tidak dapat melalui pendekatan hitam-putih. Apalagi mudah memberikan cap stempel pada mahasiswa. Kadangkala waktu tidak berbanding lurus dengan ‘prestasi bermasyarakat’. Prestasi akademik mudah saja dilihat dari kasat mata, yaitu kumpulan nilai diatas kertas berstempel. Tetapi bagaimana melihat ‘prestasi bermasyarakat?’

Ini bukan upaya membela. Saya kutip saja ucapan Hegel ‘Kebenaran tidak terletak di awal atau di akhir, tetapi dalam keseluruhan’. Persoalan cepat lulus atau lama itu sebaiknya kita kembalikan saja pada pilihan hidup. Asal tanyakan ini saja ‘sudah menorehkan tinta apa kamu dalam sejarah kampus?’. Sebab pertanyaan ‘Lulus kapan?’ se-purba pertanyaan ‘Sudah makan?’. Sama-sama pertanyaan yang tidak mengandung nilai-nilai ilmiah,hehe:).

Saya mempunyai pengalaman yang cukup unik soal ini. Dulu sewaktu nyantri di Kediri. Ada seorang teman yang santainya luar biasa. Tidak pernah jauh-jauh dari kopi. Setidaknya itu yang kami lihat. Sebagian orang memandang miring teman saya ini. Tetapi sedikit yang tahu bahwa ia ternyata seringkali belajar di tengah malam, sewaktu yang lain sudah terlelap.

Menanggapi teman lain yang memandangnya miring. Ia santai saja menjawabnya ‘kalian boleh saja menghinaku hari ini, tapi tunggu saja 10 tahun lagi, kalian akan melamar kerja di perusahaanku’. Kalau diterjemahkan dalam bahasa kampus kira-kira begini ‘boleh saja kamu mempertanyakan kelulusanku hari ini. Tapi tunggu saja 5 tahun lagi, kamu akan memintaku menjadi keynote speaker acara seminarmu’.

Beri Salam Pada Dosen

Rasa-rasanya membahas seputar ‘lulus kuliah’ jadi kurang sreg tanpa melibatkan satu sosok ini, Dosen. Sosok ini penting peranannya dalam dunia kampus. Disisi lain sosok ini juga tidak lepas dari kritik. Kita masih ingat kritik Soe Hok Gie dalam buku hariannya, Catatan Sang Demonstran, ia mengatakan ‘Guru bukan dewa yang selalu benar, dan siswa bukan kerbau’. Beda lagi kalo Iwan Fals, ia lebih menyoroti kehidupan seorang guru, yang disimbolkan pada sosok Umar Bakri. ‘Banyak menteri, insiyur pun jadi...tapi mengapa gaji Umar Bakri seperti dikebiri, bunyi lirik lagu tersebut.

Lalu apa kaitannya lulus kuliah dengan dosen? Jangan kira ini tidak berkaitan erat. Dosen memegang kartu truf cepat lamanya mahasiswa lulus. Mahasiswa yang ‘macam-macam’ dengan dosen, alamat bakal terhambat kuliahnya. Sebaliknya, mahasiswa yang ‘mesra dan taat’ alamat bakal lancar studinya. Apa betul sedemikian subjektifnya sosok ini? Setidaknya ini bisa diketahui melalui dua peraturan tak tertulis yang telah jamak dikalangan mahasiswa.

Peraturan pertama, dosen selalu benar. Peraturan kedua, hal-hal diluar itu kembali kepada peraturan pertama. Ini sekedar anekdot yang sering beredar dikalangan mahasiswa. Jadi kalau ingin cepat lulus, setidaknya mulai jalin ‘kemesraan’ dengan dosen. Kalau tidak bisa, minimal menjadi mahasiswa yang ‘taat’. Asal jangan coba-coba saja menjadi mahasiswa yang ‘macam-macam’. Itu sekurangnya hikmah yang dapat diambil dari anekdot diatas.

Meski demikian, Dosen tetap saja patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Tanpanya ilmu kurang bermakna. Tanpanya perkuliahan tidak jadi jalan. Asal saja dosen bukan orang yang tidak tahan kritik. Bila tidak tahan kritik ya wassalam. Namun apabila dosen mampu menjadi teladan dan orang tua rohani (baca; pendidikan). Jangan lupa beri salam selalu kepada beliau. Wassalamu’alaikum Wr Wb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar