Selasa, 21 Februari 2012

Kebijakan Yang Keliru

Kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menelurkan beberapa kebijakan baru. Bermula dari Mendikbud M. Nuh menetapkan hasil UN sebagai syarat masuk perguruan tinggi disusul kebijakan dari Dirjen Dikti Djoko Susanto tentang kewajiban publikasi karya ilmiah bagi mahasiswa pasca lulusan Agustus 2012. Melihat lesunya pendidikan nasional kebijakan ini bisa dikatakan sebagai upaya gebrakan dari Kemendikbud. Isi surat edaran Dirjen Dikti juga secara tegas menyatakan tujuan kewajiban Publikasi Makalah yaitu mengejar ketertinggalan dari Malaysia.
Kita perlu menghargai kebijakan ini meski dilain sisi juga perlu mempertanyakan tingkat keefektifannya. Kebijakan publikasi karya ilmiah memang ditujukan guna meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa. Bagi mahasiswa jenjang S2 dan S3 barangkali kebijakan ini bukan perkara besar karena telah ada kebijakan serupa sebelumnya. Berbeda bagi mahasiswa S1 kebijakan ini dapat berubah menjadi petaka karena mahasiswa harus menggarap skripsi dan karya ilmiah sekaligus. Apalagi menilik fakta pembuatan skripsi sejauh ini praktik plagiatisme sudah lumrah terjadi. Kebijakan publikasi makalah jika dipaksakan untuk diterapkan tanpa persiapan matang dikhawatirkan bukan akan menumbuhkan budaya menulis sebaliknya akan semakin menyuburkan budaya plagiatisme dalam kampus.
            Bakat dan minat mahasiswa juga berbeda. Syarat kelulusan yang hanya menitik beratkan pada menulis juga perlu dikaji ulang. Budaya akademisi seakan-akan hanya dapat terwakili oleh menulis. Bagi mahasiswa yang sering berkecimpung dalam dunia tulis-menulis atau aktif di lembaga pers mahasiswa tentu tidak akan keberatan pada syarat kelulusan berupa skripsi atau publikasi karya ilmiah. Tetapi bagaimana dengan mahasiswa yang menyukai bidang lain seperti kesenian, teater, olahraga, atau orasi? Apakah bakat tersebut tidak cukup mewakili budaya kampus? sehingga syarat kelulusan harus disamaratakan berupa bakat menulis saja. Kemendikbud kedepan perlu mempertimbangkan kembali kebijakan syarat kelulusan yang lebih akomodatif terhadap berbagai bakat minat mahasiswa yang beragam.
            Tidak berhenti disitu. Kebijakan publikasi karya ilmiah juga bakal terkendala daya tampung jurnal ilmiah. Bila lulusan tiap perguruan tinggi biasanya mencapai ribuan tiap tahunnya maka jurnal ilmiah bakal kewalahan menampung tulisan mahasiswa. Akibatnya Jurnal ilmiah tidak lagi memerhatikan kualitas tulisan-tulisan tersebut tetapi sekedar bagaimana agar karya tulis dapat termuat dalam jurnal. Sayogyanya bila publikasi karya ilmiah adalah upaya meningkatkan budaya menulis maka kiranya cukup sebagai penambah nilai kelulusan mahasiswa saja. Jika tidak kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang keliru, bukan begitu?

*Termuat di Suara Merdeka, 03 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar